Riauaktual.com - Sekretaris Jenderal Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Mahfuz Sidik tak menduga gugatan Gelora bersama Partai Buruh ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas pencalonan kepala daerah menimbulkan turbulensi politik dashyat, dan mengubah peta Pilkada 2024.
Mahfuz mengaku pesimistis gugatan Partai Gelora bakal dikabulkan MK, karena hingga bulan Juli lalu, MK terus meminta perbaikan gugatan, sementara masa pendaftaran Pilkada pada bulan Agustus 2024.
"Partai Gelora tak memprediksi ini terjadi. Ternyata, putusan yang kita dapatkan melampaui apa yang kita minta. Kita mintanya, satu dikasih 10 oleh MK," kata Mahfuz Sidik dalam Gelora Talks bertema 'Pilkada 2024 Pasca Putusan MK: Kemana Kehendak Rakyat?', Rabu (28/8/2024) sore.
Mahfuz berpendapat akibat putusan MK ini, peta pencalonan kepala daerah menjadi sangat dinamis. Partai Gelora semula hanya mengeluarkan surat rekomendasi B1KWK, SK pencalonan kepala daerah dari 55 rekomendasi menjadi lebih dari 300-an rekomendasi.
Mahfuz berharap pasca putusan MK soal ambang batas pencalonan kepala daerah ini, perlu dilakukan harmonisasi paket Undang-Undang Politik dan mengevaluasi sistem ketatanegaraan sekarang. "Sebab MK telah mengambil wilayah DPR selaku pembuat undang-undang, belum lagi soal sengketa Pilkada dan Pilpres sampai mengurusi hal teknis, " ujar Mahfuz.
Selain itu Mahfuz menilai MK juga tak konsisten membuat putusan soal ambang batas pencalonan kepala daerah. "Di Pilpres kita ditolak dikatakan legal policy-nya DPR, tapi di Pilkada justru diterima dan membuat norma baru yang menjadi haknya DPR," katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung mengatakan, DPR akan mengevaluasi posisi MK dalam jangka menengah dan panjang, karena terlalu banyak urusan yang dikerjakan, meski bukan menjadi urusan atau kewenangan MK.
Dalam kesempatan sama, pengamat politik Muhammad Qodari mengatakan, panasnya hubungan antara MK dan DPR hingga menyebabkan turbulensi politik, bukan hanya sekedar menerima atau menolak putusan MK soal ambang batas pencalonan di Pilkada.
"Tetapi DPR jauh-jauh hari sudah banyak menolak putusan MK, karena MK itu yudikatif, tapi kerjanya legislatif. Ini berbahaya, bisa menimbulkan situasi anarkis. Karena memang konstitusi kita menyebutkan pembuat undang-undang itu pemerintah dan DPR, bukan MK," kata Qodari.