Riauaktual.com - Sebuah foto selfie seorang remaja Suriah di Ghouta yang tengah dibombardir telah menimbulkan reaksi keras. Sebagian kalangan melihatnya sebagai kesaksian akan kengerian perang, yang lain melihatnya sebagai bentuk perlawanan.
Dalam sebuah video yang diposting pada 2 Januari 2018, remaja itu menatap diam ke kamerea. Di belakangnya tampak segumpal asap naik membumbung tinggi dari bangunan yang hancur. Ia tidak berbicara, tapi sirene dan suara seperti anak kecil menangis bisa terdengar di belakangnya. Sesudah satu menit, ia pun berbalik untuk mengamati pemandangan itu sebelum menatap kembali pada kamera. Ia adalah subyek dan dokumenter. Ia menyebutnya #BreakGhoutaSiege.
Remaja bernama Muhammad Najem itu menggambarkan dirinya berusia 15 tahun dan tinggal di Ghouta Timur. Ghouta Timur adalah daerah kantong pejuang di dekat Damaskus, yang telah mengalami pemboman hampir terus menerus oleh jet Suriah dan Rusia.
Di video lain, remaja itu, yang selalu menghadap kamera, berbicara dalam bahasa Inggris yang tidak jelas karena suara perang: "Kami terbunuh oleh kesunyian Anda," katanya.
"(Presiden Suriah) Bashar al-Assad, (Presiden Rusia Vladimir) Putin, dan (Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali) Khamenei membunuh masa kecil kami," sambungnya seperti dikutip dari France24, Minggu (25/2/2018).
Terkadang ia didampingi anak-anak lain, namun di hampir semua tweet ia memohon kepada dunia untuk bersaksi dan melakukan sesuatu.
"Apa dunia, yang bisa mengirim mesin ke (Mars) dan tidak dapat melakukan apapun untuk menghentikan pembunuhan orang-orang," dia bertanya dalam sebuah postingan yang disematkan pada profilnya.
Pesan-pesan itu meresahkan, bukan hanya karena berasal dari pemuda Najem, tapi karena kontras antara subjek perang dan wujud selfie itu sendiri.
Dalam salah satu video, Najem mengatakan bahwa ia ingin menjadi reporter saat dewasa nanti. Tapi bagi jurnalis Jonathan Alpeyrie, yang meliput konflik Suriah pada tahun 2013, dia ditahan oleh sebuah kelompok Islam selama 81 hari, seorang wartawan seharusnya tidak terlihat.
"Jika tidak, dia menjadi subjeknya," katanya.
Bagi Alpeyrie, remaja ini lebih aktif daripada jurnalis. "Dia memusuhi Bashar al-Assad tapi peran pers tidak mengambil sikap," tegasnya.
Dalam video lain, Najem menyebut apa yang terjadi di Suriah sebagai "genosida", sebuah istilah yang menurut Alpeyrie sangat tidak pantas.
"Setiap perang memiliki konteksnya. Ada genosida di Rwanda. Kita tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk Suriah," ujarnya.
Meskipun beberapa outlet berita telah menyampaikan kesaksian remaja tersebut, Alpeyrie merasa berbahaya untuk melakukannya. "Kita tidak dapat memastikan asal usul video-video ini. Dia mengatakan bahwa dia sedang syuting di Ghouta Timur, tapi kita tidak tahu apa-apa," tutur Alpeyrie.
Stasiun televisi Amerika CNN menerbitkan sebuah video berjudul "Reporter perang 15 tahun dari Ghouta Timur," dengan penyangkalan secara diam-diam terkait artikelnya.
"CNN tidak dapat secara independen memverifikasi keaslian video-video ini."
Alpeyrie mengatakan bahwa dia melihat penyimpangan yang serupa saat meliput konflik di Ukraina, ketika media internasional tidak memiliki cukup banyak wartawan di lapangan. Mereka bergantung pada postingan media sosial dan akhirnya melebih-lebihkan tingkat pertempuran.
"Fenomena selfie zona perang bukanlah hal baru", kata Alpeyrie, yang menggambarkan bahwa tentara mengambil selfie selama pertempuran untuk dikirim ke teman mereka setelahnya di Ukraina dan di Irak pada pertempuran Mosul.
