Tak Ada UU yang Jabarkan Hukum Zina, Jadi Penyebab Persekusi Serupa di Cikupa Banyak Terjadi

Tak Ada UU yang Jabarkan Hukum Zina, Jadi Penyebab Persekusi Serupa di Cikupa Banyak Terjadi

Riauaktual.com - Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan adanya kejadian di mana sepasang kekasih ditelanjangi dan diarak beramai-ramai di daerah Cikupa, Tangerang. Persekusi berlangsung, sesaat setelah warga menduga adanya tindakan asusila perzinahan oleh pasangan itu di dalam kamar kontrakan.

Kejadian itu sangat disesalkan banyak pihak, aksi main hakim sendiri dari beberapa oknum masyarakat mencerminkan bahwa perlakuan tersebut terpaksa dilakukan. Lantaran, tak adanya dalil hukum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang bisa dikenakan secara umum untuk menjerat pasangan yang diduga melakukan tindak perzinahan.

Praktisi hukum yang aktif sebagai advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan, Halimah Humayrah Tuanaya mengungkapkan, persekusi terhadap pasangan yang diduga melakukan perzinahan terjadi di banyak tempat.

Karena dianggap perbuatan keji, masyarakat pun sangat mencela hubungan itu. Sayangnya, tak ada aturan dalam KUHP yang mengatur secara luas definisi perzinahan. Pasal 28 KUHP saat ini hanya bisa menjerat bagi pasangan dengan kriteria tertentu.

"Masalahnya, perbuatan ini dianggap sangat tercela, namun tidak ada pengaturannya dalam UU. Perzinahan dalam persepsi masyarakat, berbeda dengan perzinahan menurut definisi UU. Kenapa demikian? karena KUHP yang ada sekarang masih produk warisan Belanda, norma yang digunakan tentu masih menggunakan norma orang Eropa kala itu," ungkapnya di kantor LBH Keadilan, Pamulang, Tangerang Selatan, Rabu (22/11/2017).

Menurut dia, karena dorongan norma yang ada di tengah-tengah masyarakat bisa saja persekusi kembali terjadi. Reaksi itu spontan terjadi, ketika mereka menghadapi perbuatan asusila yang dilakukan dua orang yang belum terikat perkawinan di lingkungannya.

"Masyarakat Indonesia ini kan didominasi oleh pemeluk ajaran Islam, maka hal itu memengaruhi definisi perzinahan yang berkembang di masyarakat. Masyarakat kita mendefinisikan perzinahan adalah hubungan sexual antara laki-laki dan perempuan diluar ikatan pernikahan. Sedangkan definisi perzinahan dalam KUHP, terbatas pada hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan, tapi salah satu atau keduanya sudah terikat perkawinan dengan orang lain, jadi kalau sama-sama lajang tidak bisa dijerat," jelas dia.

Dilanjutkan Halimah, dia mendesak agar segera dilakukan pengesahan terhadap Rancangan KUHP. Dimana dalam rancangan nantinya, akan ada perluasan definisi perzinahan dalam UU hukum pidana, bahkan ada ancaman penambahan hukuman bagi pelaku kesusilaan.

Dengan begitu, tidak ada tindakan main hakim sendiri lagi. Sebab masyarakat telah dapat mengandalkan sistem hukum pidana untuk mengatasi perbuatan perzinahan yang telah membuat resah.

"Peristiwa persekusi ini menunjukkan bahwa pengesahan RUU KUHP merupakan hal yang urgent untuk dilakukan, menjadi sangat baik jika RKUHP ini segera disahkan. Prosesnya saat ini baru pengesahan di Buku I tentang ketentuan Umum," pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, KUHP yang berlaku saat ini tidak lain berasal dari 'Wetboek van Strafrecht voor Indonesie' (WvS-Staatblad 1915: 732) yang merupakan produk hukum pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, WvS tersebut masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945.

Setahun setelah proklamasi kemerdekaan, WvS ini kemudian dinyatakan sebagai KUHP melalui UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9). Akan tetapi, WvS yang telah ditetapkan menjadi KUHP itu baru berlaku untuk Jawa dan Madura. Setelah ditetapkannya Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958, barulah KUHP itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. (wan)

 

Sumber: okezone.com

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index