DPRD Pekanbaru Gesa Perda Perlindungan Perempuan dan Anak

DPRD Pekanbaru Gesa Perda Perlindungan Perempuan dan Anak
ilustrasi

PEKANBARU (RA) - Perisitwa kekerasan kepada anak dan perempuan terus meningkat, bahkan di kota Pekanbaru tindakan ini sudah mengkhawatirkan, apalagi baru-baru ini terungkap prostitusi online yang menjual anak gadis belia.

Untuk menyikapi persoalan ini agar tidak terus memburuk, DPRD Kota Pekanbaru kini berupaya menggesa untuk pembentukan peraturan daerah (Perda) Perlindungan Perempuan dan Anak. Sehingga untuk mengantisipasi semakin banyaknya perempuan dan anak menjadi korban penyimpangan dan kekerasan, bisa dilakukan koordinasi dan MoU antara aparat hukum dan pemerintahan.

"Kami akan menggesa Perda Perlindungan Perempuan dan Anak. Kami menghimbau perusahaan agar menyisihkan dana CSR-nya untuk membantu mengantisipasi kekerasan terhadap perempuan dan anak ini. Bahkan harus ada URC di tingkat kelurahan, sehingga bisa cepat diantisipasi dan dilaporkan ke polisi," kata Anggota DPRD Kota Pekanbaru Roem Diani Dewi, Minggu (25/9.

Dikatakan Politisi PKS ini, untuk menyikapi derasnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka perlu kerjasama lintas instansi dan ada MoU seperti Polisi, Jaksa, rumah sakit untuk memberikan visum gratis, rumah sakit jiwa, masyarakat dan pemerintah sendiri.

Sebab, terang politisi perempuan ini, jika hal ini tidak dilakukan maka kejadian yang sama akan terus berulang. Terkait hal ini, perlu juga dibuat sanksi pidana yang tegas sehingga ada efek jera bagi pelaku lainnya. Termasuk kasus prostitusi online yang baru-baru ini terungkap, harus ada langkah kongkrit.

"Lebih dari itu, jika anak berkasus perlu dibangun penjara khusus anak. Jangan disamakan ruangannya dengan orang dewasa. Karena efeknya nanti anak tidak akan semakin baik. Selama ini kita lihat pengadilan anak kurang memihak kepada anak. Mengacu pada peradilan anak ada 3 yakni pelaku, korban dan saksi. Untuk saksi tidak ada perlindungan hukum. Jangan ada lagi kasus P-18 dan P19," terangnya lagi.

Peran pemerintah, katanya lagi, harus memberikan edukasi di tingkat masyarakat bawah. Karena para masyarkat awam yang sering tidak sadar telah menjadi korban kekerasan, karena ketidaktahuannya maka terkadang kasusnya tidak dilaporkan dan terus menjadi korban kekerasan berulang kali.

"Seperti kasus prostitusi online yang diungkap Polda Riau kemarin, korban ada anak dibawah umur, ini terjadi karena kurangnya perhatian dan koordinasi yang lemah dari pemerintah," papar Dewi, sapaan akrab Roem Diani Dewi.

Sehingga, kata Dewi, tidak heran lagi kasus yang terkesan dianggap remeh ini menjadikan Provinsi Riau pada tahun 2015 termasuk daerah darurat kekerasan anak di Indonesia. "Pemerintah harusnya memberikan perlindungan kepada anak. Ini juga sudah diamanatkan dalam amandemen UUD 1945 pasal 28. Di antaranya untuk peningkatan SDM, perlindungan, pemenuhan hak anak, yakni hak hidup, hak tumbuh, hak berkembang dan mempunyai harkat dan martabat," ujarnya.

"Ini sudah disahkan di konvensi hak-hak anak. Dan dituangkan juga dalam Keppres No 30 tahun 1990 dan UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak," sambungnya.

Kekerasan anak ini juga bermacam-macam jenisnya, mulai dari seksual, sodomi, penculikan, penganiayaan, diskriminasi dan lainnya. "Yang sering kita lihat sekarang eksploitasi anak di usia 18 tahun ke bawah. Di Kota Pekanbaru banyak kita lihat di lampu merah. Mereka kadang dipaksa berjualan hingga larut malam, kita heran mengapa ini tidak ada diperhatikan pemerintah dan dibiarkn saja setiap hari bisa kita temui anak-anak ini sampai larut malam di simpang lampu merah," sebut Dewi menyayangkan.

Sebagai data tambahan, Dewi juga menyampaikan jumlah kasus kekerasan perempuan dan anak, sebagaimana data dari BP2MKB (Badan Pemberdayaan Perempuan Masyarakat dan Keluarga Berencana) tahun 2015 bahwa laporan RS Bayangkara ada 288 kasus, laporan Unit PPA Polresta ada 91 kasus, laporan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) ada 58 kasus, dan laporan Polsek ada 12 kasus.

"Untuk tahun 2016, data dari P2TP2A sebanyak 23 kasus dari bulan Januari-Juni untuk laporan dari RS dan Polresta belum masuk," pungkas Dewi. (MAD)

Follow WhatsApp Channel RiauAktual untuk update berita terbaru setiap hari
Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index