RIAU (RA) - Greenpeace Indonesia menilai, upaya pemulihan, perlindungan, dan pembangunan di wilayah pesisir selama pemerintahan Joko Widodo cenderung salah arah, serta tidak menghormati sejumlah norma hukum dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menyebutkan, reklamasi menjadi fakta bahwa pemerintahan Jokowi telah mengorbankan kelestarian lingkungan hidup, fungsi religi, adat dan sosial kawasan, serta keberlangsungan mata pencaharian warga dan nelayan setempat.
"Reklamasi Teluk Benoa dan Teluk Jakarta merupakan dua contoh carut marutnya agenda pembangunan pesisir, yang cenderung tidak berkelanjutan di Indonesia," ujar Leonard dalam keterangan tertulis, hari ini, kepada rimanews.
Leonard mengungkap, dalam dua kasus reklamasi tersebut jelas terlihat sejumlah elit pemerintahan justru lebih berpihak dan cenderung menjadi “juru bicara” yang mewakili kepentingan pihak swasta pengembang kawasan.
"Berbagai upaya intimidasi dan percobaan kriminalisasi terhadap sejumlah aktivis dan warga penolak reklamasi Teluk Benoa sudah sering terjadi. Kita prihatin bahwa mekanisme dan perangkat hukum di era pemerintahan saat ini masih saja mudah dibajak untuk memuluskan kepentingan pengusaha pengembang kawasan (PT. Tirta Wahana Bali Internasional) dalam menjalankan rencananya untuk memprivatisasi kawasan Teluk Benoa," ungkap Leonard.
Leonard menambahkan, tidak kalah memprihatinkan adalah pernyataan kontroversial akhir-akhir ini yang dilontarkan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, mengenai Reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta yang dapat dilanjutkan kembali. Sementara telah ada putusan PTUN Jakarta pada akhir Mei 2016 yang memerintahkan pencabutan Keputusan Gubernur DKI Jakarta 2238 Tahun 2014 terkait pemberian izin pelaksanaan reklamasi Pulau G kepada pengembang terkait (PT. Muara Wisesa Samudra).
"Berkaitan dengan perkembangan terkini dari dua isu reklamasi di Teluk Benoa dan Teluk Jakarta tersebut, Greenpeace Indonesia mendesak Presiden untuk segera membatalkan Peraturan Presiden 51/2014 yang jelas-jelas sarat kepentingan upaya reklamasi dan privatisasi Teluk Benoa atas dalih revitalisasi kawasan," tegas Leonard.
Greenpeace Indonesia, lanjut Leonard, juga mendesak Presiden untuk segera menetapkan kebijakan penghentian menyeluruh agenda reklamasi di kawasan Teluk Jakarta, serta melakukan pemulihan fungsi ekologis kawasan pesisir dan perairan Teluk Jakarta tanpa pendekatan reklamasi.
Sementara itu, Ketua ForBali Jakarta, John Tirayoh, mengungkapkan, Perpres 51/2014 merupakan produk regulasi yang dikeluarkan di masa kepemimpinan Presiden SBY. ForBali mengklaim bahwa Perpres tersebut sangat pro kepada investor dan pengembang.
"Kami tidak hanya menolak reklamasi Teluk Benoa, tapi kami juga menginginkan Perpres 51 tahun 2014 yang memperbolehkan kawasan konservasi menjadi kawasan guna pakai, itu dihilangkan," ujar John.
"Berdasarkan penelitian para ahli, reklamasi ini berpotensi merusak ekosistem dan lingkungan sekitar," pungkas John.
