Marak isu kebangkitan PKI untuk jegal penuntasan kasus HAM 1965

Marak isu kebangkitan PKI untuk jegal penuntasan kasus HAM 1965
kaos kreator palu arit

RIAUAKTUAL.COM - Setelah melenggangnya Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 dan Simposium Nasional membedah tragedi 1965, mulai marak penangkapan orang karena memakai atribut palu arit. Bahkan isu tersebut kian ramai, setelah Presiden Jokowi meminta Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan mencari kuburan massal korban 1965 di berbagai tempat.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Feri Kusuma menganggap ada skenario untuk menciptakan suasana politik yang tidak kondusif, dalam konteks penyelesaian kasus 1965. Sebab mulai meningkat lagi ekskalasi penangkapan atau pembubaran terhadap diskusi-diskusi 1965 pasca simposium.

"Ini upaya untuk menghambat fakta atau kebenaran yang sesungguhnya atas peristiwa 65. Ini ada resistensi dari kelompok-kelompok yang kita duga kuat terlibat dalam kejahatan. Atau juga kelompok-kelompok yang dibayar untuk menciptakan suasana politik yang tidak baik. Memang ada kelompok-kelompok tidak bertanggungjawab yang tidak menginginkan usaha negara untuk menyelesaikan kasus 1965," ujar Feri saat dihubungi Merdeka.com, Senin (9/5).

Feri berujar bahwa ada berbagai kelompok intoleran yang sengaja memunculkan ketakutan akan bangkitanya Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu masyarakat digiring untuk memusuhi hal-hal yang berkaitan langsung atau tidak terhadap PKI.

"Jadi aparat keamanan jangan terlalu represif dalam menyikapi simbol-simbol komunisme. Seharusnya aparat netral dalam penyelesaian masalah ini. Kalau ada masyarakat main hakim sendiri, proses dong kelompok itu. Ini kan simbol sebuah ideologi, simbol ini kan sama dengan partai atau organisasi yang lain. Cuma yang jadi permasalahan selama ini diciptakan ketakutan PKI itu jahat, antiagama, atheis, segala macam kan," tuturnya.

Isu yang penuh stereotipe negatif mengenai PKI ini justru membuat TNI-Polri mudah mempidanahan seseorang tanpa alasan yang jelas. Selain itu juga dimanfaatkan oleh massa inteoleran untuk main hakim sendiri.

"Ini karena lemahnya penegakan hukum, lemahnya aparat keamanan. Sehingga kelompok-kelompok intoleran ini semakin leluasa main hakim sendiri. Mengatasnamakan negara, atas nama mayoritas lalu mengambil kesimpulan dengan menghakimi orang lain," ujarnya.

Menurut Feri, Jokowi telah berusaha menebus janji dalam Nawa Cita yaitu menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Sedangkan permasalahan tersebut bagi Feri ialah permasalahan bersama Indonesia sebagai sebuah bangsa. Maka dari itu seharusnya dipikul secara bersama-sama.

"Saya sudah cek kepada korban, korban tidak pernah mencetak baju yang ada gambar palu arit itu. Korban-korban 65 itu kebanyakan bukan kader partai politik, mereka orang yang dituduh dalam partai politik PKI dulu," ungkapnya.

Dia juga menjelaskan, Senin (9/5) siang sempat ke Kantor Kemenko Polhukam untuk bertemu Luhut. Dalam pertemuan tersebut Feri sempat melontarkan ada situasi, di mana aparat keamanan dan masyarakat menunjukkan resistensinya terhadap penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Hal tersebut ditunjukkan dengan masaknya sweeping dan pemidanaan pemakai atribut palu arit.

"Pak Luhut bilang dia akan menjamin keamanan semua korban," ucapnya.

Feri menegaskan bahwa, permasalahan kasus '65 itu bukan masalah bangkitnya kembali PKI. Tidak ada masalah kepartaian di situ. Ini melainkan merupakan permasalahan korban yang menderita akibat konflik politik masa itu.

"Ini hanya persoalan kemanusiaan bahwa ada orang yang dulu menjadi korban kekuasaan pada saat rezim Orde Baru. Yang dimintai korban adalah pertanggungjawaban negara dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Kita ingin agar ini diselesaikan baik melalui proses hukum, pengadilan maupun penyelesaian di luar pengadilan dengan tetap mengedepankan nilai-nilai HAM. Khususnya hak para korban," pungkasnya.

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index