KAMPAR (RA) - Warga Bangkinang Kabupaten Kampar Riau mempertanyakan kesungguhan pemerintah dalam pengelolaan situs bersejarah Candi Muara Takus. Candi itu terkesan kurang mendapat perhatian pemerintah, karena kurang terawat dan tidak dikelola secara maksimal.
Hal itu terungkap dari pertemuan antara Pemerintah Daerah Kabupaten Kampar dengan pengelola Candi Muara Takus di Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. Dialog tersebut sengaja dilakukan pihak pengelola untuk mengangkat kembali bagaimana komitmen pemerintah khususnya yang telah dilakukan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat terhadap keberadaan Candi Muara Takus.
Hadir pada acara tersebut Kepala Balai Cagar Budaya Sumatera Barat Nurmantias, Kadis P dan K Kabupaten Kampar Dr H Nasrul Zein SPd, MPd, Kadis Pariwisata Kampar Syamsul Bahri, Asisten III Setda Kampar Nurahmi dan puluhan pemerhati budaya serta wartawan dan undangan lainnya. Acara bertema Cagar Budaya Indonesia Lestari Budayaku digagas Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat sambil menggelar berupa pameran selama dua hari, yakni Senin dan Selasa di Gedung Guru Bangkinang, Senin (18/4).
Menurut Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat Nurmantias, keberadaan Candi Muara Takus saat ini berdasarkan UU No 11 tahun 2010 tetang cagar budaya, pengelolaan Candi Muara Takus masuk dalam skala nasional dan bahkan internasional. Sebab Candi Muara Takus menurut literatur yang berkembang, sudah ada sejak kerajaan Sriwijaya Palembang. Karena itu, keberadaanya dikelola oleh tingkat nasional. Apalagi keberadaan Candi Muara Takus yang berada di Desa Muara Takus kecamatan XIII Koto Kampar itu menjadi terkenal karena berada ditengah khatulistiwa dan berada ditengah pulau Sumatera.
"Dengan adanya candi tersebut menandakan bahwa Kampar sudah memiliki kebudayaan yang sudah lama. Sehingga ada yang menyebut kerajaan Sriwijaya saat itu berpindah-pindah dari Palembang ke Kampar, bahkan ke Muara Jambi, Malaysia dan Thailan," ujar Nurmantias, Rabu (20/4/2016).
Menurut Kadis Pariwisata Kabupaten Kampar Syamsul Bahri, keberadaan Candi Muara Takus jauh lebih duluan dari kerajaan Sriwijaya Palembang. Ia mengutip dari keterangan I Think, seorang sejarawan Hindu Budha dari Tionkok, yang menyebut bahwa Candi Muara Takus sudah ada sejak abad ke-7 Masehi. Sedangkan pusat kerajaan Sriwijaya Palembang baru berdiri pada abad ke-9 Masehi. "Saya minta kajian ini perlu dilakukan sebentuk seminar internasional, untuk menggali dan meluruskan kembali sejarahnya agar tidak membingungkan," ujar Syamsul Bahri.
Sedangkan Asisten III Setda Kampar Nurahmi meminta agar keberadaan Candi Muara Takus dikelola secara bersinergi antara pemerintah daerah dan pemprov Riau termasuk pemerintah pusat. Mana yang menjadi porsi pemerintah kabupaten, propinsi Riau dan pusat semuanya harus jelas dan terukur supaya pengelolaannya terpadu dan dirasakan masyarakat.
"Terhadap luas lahan, mungkin sudah ada yang digarap masyarakat dan itu harus diganti rugi oleh pemerintah. Dari 136 hektar lahan Candi Muara Takus, 93 hektar sudah dikelola warga. Ini harus diselesaikan dulu, baru direncanakan apa yang akan dibangun kedepannya," ujar Nurahmi.
Usai dialog yang disiarkan langung oleh stasion radio Pemda Kampar itu, panitia memberikan kepada wartawan untuk bertanya dan mengemukakan pendapat. Diantara wartawan mempertanyakan komitmen pemerintah kabupaten Kampar termasuk pengelola cagar Budaya Sumatera Barat yang kurang peduli terhadap aset pelestarian budaya daerah yang bernilai sejarah yang sangat berharga.
Sebut saja Herman Jhoni mempertanyakan manakah yang lebih duluan kerajaan Sriwijawa Palembang dengan berdirinya Candi Muara Takus. Ini perlu diluruskan, sebab pada kenyataannnya Candi Muara Takus sudah dikenal sejak berabad-abad yang silam. Penanya yang lain, mempertanyakan komitmen pemerintah daerah dalam membangun dan merawat kembali Candi Muara Takus yang saat ini kurang diperhatikan.
Apakah pemerintah daerah tidak punya nyali untuk memanfaatkan sumber daya alam berupa peninggalan sejarah yang sangat berpotensi untuk mendatangkan keuntungan. Dan bagaimana pula terhadap nilai pendidikan, apakah pemerintah daerah tidak memasukkan kedalam kurikulum atau muatan lokal untuk diketahui anak didik generasi bangsa ini. (Dr)
