RIAU (RA) - Museum Sang Nila Utama merupakan sebuah museum daerah yang berlokasi di Kota Pekanbaru, tepatnya di Jl Jenderal Sudirman, persis di seberang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau.
Museum ini berada satu komplek dengan Dinas Kebudayaan Provinsi Riau.
Museum ini mengumpulkan dan menyimpan ribuan warisan yang berhubungan dengan budaya Melayu Riau seperti pakaian adat pernikahan, permainan tradisional, alat musik, artefak dan lainnya.

Bagi masyarakat Kota Pekanbaru dan sekitarnya, museum ini dikenal sebagai museum terbesar jika bukan satu-satunya di Kota Pekanbaru.
Sayangnya, sejak lama masyarakat sudah banyak mengeluhkan kondisi museum ini yang sangat memprihatinkan dan seolah membeku tak dipengaruhi oleh waktu sejak peresmiannya pada tahun 1994 lalu, alias begitu-begitu saja.
Untuk membuktikan keluhan masyarakat tersebut, RiauAktual.com langsung berkunjung ke Museum Sang Nila Utama pada Rabu (15/1/2025).
Tidak Gratis Alias Bayar Tiket
Sebelum melihat koleksi di dalam museum, pengunjung harus membayar tiket senilai Rp3. 500 per orang.
Pembayaran bisa dengan uang cash atau dengan memindai barcode QRIS. Pembayaran dilakukan di meja resepsionis di depan pintu masuk.
Setelah mengantongi tiket, pengunjung akan diarahkan melewati pintu sebelah kiri untuk memulai storyline atau koleksi yang telah disusun sedemikian rupa.
Suasana Gelap dan Beri Kesan Mistis
Sejak memasuki pintu utama, hal yang paling dirasakan adalah suasana temaram di dalam museum karena minimnya pencahayaan.
Dari lantai dua museum, sumber cahaya utama tampak hanya mengandalkan sinar matahari yang masuk dari jendela, sehingga jika cuaca di luar sedang mendung maka akan semakin gelap pula lah bagian dalam museum.
Tidak ada lampu-lampu utama yang cukup terang dipasang di dalam, bahkan tidak semua vitrin (kotak pajangan) memiliki lampu, sebagian terlihat begitu gelap dan sulit melihat benda apa yang sedang dipajang.
Begitu menyusuri lantai dasar, suasana bahkan lebih gelap. Sebagian lampu tampak sudah tak memiliki daya, rusak, dan sisanya memang tak ada sama sekali.
Menurut testimoni masyarakat yang pernah berkunjung, sudut tempat memajang boneka menyerupai masyarakat Suku Sakai dan Pandai Besi serta miniatur rumah-rumah adat di lantai dasar adalah sudut yang paling menyeramkan bahkan memberi kesan mistis.
Vitrin Suku Sakai benar-benar gelap, nyaris tak terlihat apa yang ada di dalamnya selain siluet boneka seukuran manusia. Aroma apak kayu tua dan debu pun tercium cukup kuat.
Susunan Acak dan Minim Informasi
Meskipun diarahkan oleh petugas untuk masuk dari pintu sebelah kiri agar mengikuti alur cerita atau storyline, Museum Sang Nila Utama tampaknya tak memiliki storyline yang jelas bahkan terkesan acak.
Begitu masuk, pengunjung disambut oleh pojok Chevron yang tampak mencolok dan paling terang dari semua koleksi.
Padahal perusahaan minyak dan gas raksasa itu sudah sejak beberapa tahun lalu diambil alih oleh Pertamina dan kini berganti nama menjadi Pertamina Hulu Rokan (PHR).
Di sebelah kiri terdapat bedug berukuran besar, hanya ada tulisan "Mohon Tidak Disentuh" tanpa ada keterangan mengenai nama dan asal-usul bedug.
Di sebelah kanan, terdapat dua buah lukisan yang tampak kotor dan kusam, juga tanpa keterangan mengenai nama lukisan ataupun pelukisnya.
Persis di bawah lukisan, terdapat dua buah batu yang lagi-lagi tidak memiliki keterangan asal usulnya.
Dari pojok Chevron, pengunjung bisa menaiki tangga untuk melihat koleksi di lantai dua atau turun ke bawah.
Di bawah, di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah batu besar berbentuk cangkang siput.

Menurut pemandu, batu itu sebenarnya adalah kayu yang telah menjadi fosil dan melalui proses alami selama ribuan atau bahkan jutaan tahun sehingga mengeras menjadi batu.
Bisa dikatakan, batu ini adalah highlight atau sorotan utama di museum.
Namun, lagi-lagi tidak ada keterangan yang diletakkan untuk membantu pengunjung mendapatkan informasi apabila seandainya pengunjung berkeliling sendiri tanpa didampingi pemandu.
Sebagai sebuah artefak berharga, tak pula tampak pagar atau apapun yang melindungi batu siput itu dari tangan-tangan usil.
Di sebelahnya terdapat miniatur Candi Muaratakus yang tampaknya telah mengalami vandalisme.
Terlihat kartu informasi yang dipajang telah dicoret spidol. Selain itu, miniatur candi itu sendiri tampak tak terawat dan belum selesai dicat.
Terus ke sudut, terdapat pajangan manekin-manekin mengenakan pakaian tradisional pengantin Melayu di singgasana.
Di sebelahnya, ada sebuah rangka kayu berbentuk persegi panjang yang tidak jelas diketahui fungsinya.
Ketika RiauAktual.com bertanya ke petugas, ternyata rangka itu dimaksudkan sebagai replika ranjang pengantin, namun sudah enam tahun tidak pernah dilengkapi.
Memasuki pojok pameran aneka pakaian tradisional Melayu lainnya, tampak berbagai jenis kain batik, songket, dan tanjak dipamerkan, serta replika seorang penenun lengkap dengan alat tenunnya.
Anehnya, di tengah-tengah tema tekstil tersebut, terdapat sebuah vitrin (kotak pajangan) yang berisi bedil atau senapan tradisional sehingga memberi kesan "enggak nyambung" dengan kain-kain disekitarnya.
Beralih ke lantai dua, terdapat deretan guci berukuran cukup besar. Kartu informasi yang terletak di bawah guci sudah luntur dan tak terbaca sama sekali, sebagian besar guci bahkan tak memiliki keterangan apa-apa.
Lagi-lagi, RiauAktual.com harus berinisiatif bertanya ke petugas mengenai asal usul guci-guci tersebut dan diberitahu bahwa guci itu merupakan angkutan kapal dari China yang karam di perairan Riau ratusan tahun lalu. Namun petugas mengaku juga tak tahu banyak.
Berbagai koleksi lainnya seperti senapan, koin-koin kuno, perhiasan, dan replika benda-benda bersejarah lainnya juga tak memiliki kartu informasi yang bisa dibaca pengunjung.
Di beberapa vitrin, tampak ditempel spanduk bergambar benda yang dipajang dengan namanya saja. Seperti "peluru" hanya ditulis "merupakan isian dari senapan" dan tidak dijelaskan asal muasal serta sejarah darimana pajangan itu berasal.
Spanduk-spanduk besar itu juga membuat salah fokus, karena pengunjung pada akhirnya malah membaca spanduk alih-alih memperhatikan artefak yang dipajang.
Koleksi Kotor, Berdebu dan Bekas Tangan
Hal lain yang memprihatinkan adalah kondisi benda-benda koleksi yang tampak tak terawat dengan baik.
Bahkan walau sekilas saja tanpa memperhatikan dengan seksama, pengunjung bisa melihat tumpukan debu, pasir, hingga bekas tangan dan sidik jari petugas di dalam kotak-kotak pajangan.
Sarang laba-laba hingga rontokan cat dinding tampak mengotori bagian dalam vitrin.
Untuk miniatur-miniatur seperti miniatur Istana Siak dan Masjid Raya Pekanbaru, tampak kondisi kotak kaca sudah menguning dan keruh.
Kondisi miniatur di dalamnya juga tak lebih baik, bisa dilihat ada jarum pentul, dan miniatur yang sudah bengkok disana-sini.
RiauAktual.com bahkan menemukan tisu bekas di dalam miniatur kapal dan rumah-rumah adat.
Hawa Panas Menyengat
Untuk ukuran museum yang cukup luas dan memiliki dua lantai itu, keluhan yang juga sering disampaikan pengunjung adalah hawa panas menyengat yang membuat tidak betah.
Bagaimana tidak, untuk ruangan seluas itu hanya ada dua Air Conditioner (AC) Floor Standing yang berfungsi, itupun diletakkan di dekat meja petugas di samping pintu masuk utama.
Menurut pengakuan petugas, daya listrik museum tidak memadai untuk menyalakan seluruh AC dan kipas. Berhubung museum berada satu komplek dengan kantor-kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Riau, aliran listrik juga diperlukan untuk operasional kantor sehari-hari sehingga lebih diprioritaskan untuk hal itu dibandingkan untuk museum.
Kekecewaan Masyarakat
Kondisi Museum Sang Nila Utama ini sebenarnya sudah bergaung di tengah masyarakat cukup lama. Pengunjung-pengunjung yang kecewa bahkan meninggalkan ulasan di Google Review dengan memberi bintang 1 karena kondisi museum yang tak layak.
Sebagian besar pengunjung memiliki keluhan yang sama tentang gelapnya suasana museum, hawa panas yang menyengat dan koleksi-koleksi yang tak dirawat dengan baik.
Hal ini tentunya amat disayangkan, mengingat setiap tahunnya ada Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dikucurkan untuk perawatan museum dan adanya biaya masuk bagi pengunjung.
Sebagai satu-satunya museum daerah di Kota Pekanbaru, wajar jika masyarakat khususnya pelajar dan mahasiswa sangat bergantung dengan Museum Sang Nila Utama jika ingin melihat langsung warisan budaya Melayu.
Namun akibat kondisi yang mengecewakan, tak heran apabila hari demi hari masyarakat semakin enggan berkunjung.