Menanti eksekusi nyata hukuman kebiri di Indonesia

Jumat, 14 Oktober 2016 | 10:19:39 WIB
Ilustrasi kebiri di China zaman dulu

NASIONAL (RA) - Setelah penantian panjang, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU. Di mana salah satu poin dari Perppu tersebut adalah penambahan hukuman kepada pelaku kekerasan seksual dengan sanksi kebiri kimia.

Pengesahan UU ini sebenarnya tak terlalu berjalan mulus di DPR. Sebab, tidak semua fraksi di DPR menyetujui. Fraksi yang menolak menandatangani adalah Partai Gerindra dan PKS.

Salah satunya alasannya karena pemerintah dan LSM sendiri belum satu suara soal hukuman untuk pelaku kejahatan seksual terdapat terhadap anak.

"Gerindra konsisten bahwa kami setuju dalam semangat perlindungan anak, sanksi pidana harus ditingkatkan. Namun dari berbagai informasi yang kami dapatkan, seperti dari Komnas Perempuan, Komnas HAM, Kontras, dan lainnya, semuanya menyatakan menolak pengesahan Perppu Perlindungan Anak menjadi UU. Padahal mereka langsung berurusan dengan para pelaku kekerasan anak. Perppu adalah kado dari presiden yang indah di luar, namun kosong di dalam," jelas Anggota DPR Fraksi Gerindra Rahayu Saraswati.

Hal yang sama juga dikemukakan Fraksi PKS Anggota Fraksi PKS, Ledia Hanifa, menilai kebiri bukan solusi menekan kejahatan seksual pada anak. Selain itu, katanya, UU ini belum sempurna sehingga ditakutkan akan mendatangkan persepsi berbeda saat dijalankan.

"Data yang menjadi dasar Perppu ini masih kurang jelas. Sebenarnya, klausul tentang pemberatan hukuman yang sebabkan terjadinya penyakit menular kejiwaan dan kerusakan organ reproduksi, tidak bisa dilakukan ketika terdakwa sedang menjalani proses hukum," tegasnya.

"Karena itu, melihat banyak hal yang harus dipenuhi, maka fraksi PKS berpandangan daripada membuat perppu nomor 1/2016 menjadi UU di mana banyak kelemahan di dalamnya. Kami fraksi PKS menolak perppu nomor 1/2016 tentang perlindungan anak," sambung Ledia.

Dalam kesempatan terpisah, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPA) Yohana Yembise mengatakan pihaknya akan segera menindaklanjuti keputusan itu.

"Kita mendoakan supaya dapat menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak, ada efek jeranya," ujar Yohanna.

Dalam waktu dekat, katanya, dia berharap pembahasan aturan turunan dari UU Perlindungan Anak bisa segera dilakukan. Gunanya mengatur mekanisme pelaksanaan mulai dari rehabilitasi sosial, hukuman kebiri dan pemasangan chip di tubuh pelaku kekerasan seksual.

"Kami setelah itu akan melakukan sosialisasi ke mana-mana. Pelatihan-pelatihan training kepada aparat penegak hukum, hakim, jaksa, pengacara, agar bisa mengoptimalisasikan tugas mereka yaitu mengangkat law inforcement ini," ucap Yohana.

Dia berharap semua pihak termasuk yang dulunya menolak satu suara menyukseskan UU. Dengan harapan pelaku jera dan tingkat kejahatan terhadap anak menurun.

"Kalau sudah jadi UU, siapapun orangnya harus tunduk pada hukum yang berlaku," pungkasnya.

Ditambahkan Ketua Komisi VIII, Ali Taher, meski Perppu sudah disahkan ada beberapa hal yang memang belum diatur secara jelas. Seperti eksekutor hukuman kebiri. Sebab pihak IDI hingga kini belum memberikan opini apapun terkait tindakan medis terhadap pelaku.

"IDI sampai sekarang tidak memberikan opini karena faktor etik untuk melakukan tindakan medis terhadap pelaku kejahatan, nah ini yang harus dipikirkan oleh pemerintah," terang Ali.

Selain itu, katanya, perlu diperjelas soal keputusan jumlah pidana untuk pelaku kejahatan seksual dari hakim.

"Langkah kedua adalah meskipun sudah diundangkan tapi pelaksanaannya tergantung pada posisi hakim. Persoalan tambahan hukuman itu masuk di dalam dihitung dari putusan hakim atau tidak, nah ini kan perlu pidana," tegasnya.

 Lalu seperti sebenarnya mekanisme hukuman kebiri itu sendiri? Menteri Yohana mengatakan pascaputusan ini, kementeriannya akan berkoordinasi dengan tiga kementerian untuk kemudian menerbitkan tiga peraturan pemerintah. Yakni Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Hukum dan HAM. Dari hasil koordinasi itu nantinya akan terbit PP Rehabilitasi sosial, PP hukuman kebiri dan PP pemasangan Chips di tubuh pelaku.

"PP ini bisa segera diselesaikan sehingga pemerintah bisa segera melakukan sosialisasi terhadap UU ini dan pelaksanaan PP ini bisa berjalan dengan baik," ujar Yohana.

Dijelaskan Anggota Komisi VIII dari PKS, Ledia, ada sejumlah syarat bagi pelaku kekerasan seksual yang akan dijatuhi hukuman kebiri. Pertama, pelaku yang akan dikebiri divonis hukuman pidana minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun.

Kedua, katanya, hukuman kebiri diberikan apabila jumlah korban lebih dari satu. Kemudian, syarat lainnya adalah jika ulah pelaku mengakibatkan rusaknya alat kelamin korban, atau korban menderita penyakit kelamin menular serta gangguan jiwa.

"Pertama, hukuman pokoknya itu minimalnya 5 tahun maksimalnya 20 tahun. Terus kalau ternyata si pelaku melakukannya lebih dari satu kali atau korbannya lebih dari satu," kata Ledia saat dihubungi merdeka.com, Kemarin.

"Atau dia menyebabkan korbannya terkena penyakit menular. Atau mengakibatkan gangguan kejiwaan pada korban. Atau kerusakan alat reproduksi. Itu syaratnya bagi pelaku," sambung Ledia.

Selain itu, dalam UU tersebut juga diatur bahwa hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak tidak hanya kebiri tetapi juga hukuman mati dan seumur hidup.

"Tapi bukan cuma kebiri, bisa jadi dia jatuhnya adalah hukuman mati atau seumur hidup atau kebiri. Jadi dia itu atau-atau sebenarnya," terangnya.

Ditambahkannya pula, hukuman kebiri dengan bahan kimia akan diberikan setelah pelaku menyelesaikan masa tahanan. Hukuman kebiri juga hanya bersifat pemberatan atau penambahan. Dia menyebut usai dikebiri, pelaku akan mendapat rehabilitasi dari dokter selama 2 tahun.

"Kalau misal iya pas sudah keluar. Dia tambahan dan sifatnya pemberatan. Nanti dia harus didampingi selama 2 tahun, direhabilitasi," sambung Ledia.

Suntik kebiri akan diberikan setiap tiga bulan sekali selama dua tahun. Selama masa tersebut, pelaku akan diawasi melalui dengan gelang cip yang dipasang di tangan. Selain itu, katanya, pelaku akan kembali normal kembali setelah 2 tahun disuntik bahan kimia.

"Katanya sih kebiri berkala. Per berapa bulan dan didampingin. Ini sementara 2 tahun, bisa normal lagi," pungkasnya. (merdeka.com)
 

Terkini

Terpopuler