EKONOMI (RA) - Tingginya harga gas bumi untuk industri dalam negeri menuai polemik. Harga gas di Medan, Sumatera Utara saja tercatat mencapai USD 12,22 per MMBTU. Padahal menurut data Kementerian Perindustrian, harga gas di Singapura hanya sekitar USD 4,5 per MMBTU, Malaysia USD 4,47 per MMBTU, dan Filipina USD 5,43 per MMBTU.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat pernah mengeluhkan tingginya harga gas dalam negeri. Menurutnya, harga yang tinggi membuat industri kesulitan bersaing di era pasar bebas sekarang ini.
"Gas berasal dari Indonesia dijual ke Singapura dengan harga berkisar USD 4 per Million Metric British Thermal Unit (MMBTU), begitu harga gas dijual sendiri di Indonesia maka harga gas sudah USD 12, artinya di situ terjadi percaloan yang luar biasa," ucap Ade di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (29/8).
Ade berharap, harga gas dalam negeri bisa stabil di USD 7 per MMBTU. Ade meminta kepada pemerintah terkait untuk segera memperbaiki tata niaga gas. Sebab, kondisi industri dalam negeri belum terlalu baik dan membutuhkan harga gas yang lebih murah.
"Ini yang harus kita benahi, kan gas itu bisa langsung berikan implikasi bagaimana bisa bermanfaat bagi masyarakat yang sebesar-besarnya. Kita harapkan harga gas paling tidak tidak terlalu tinggi perbedaanya antara yang dijual ke Singapura, Korea dan Vietnam, dibandingkan di dalam negeri," ujar Ade.
Tak hanya industri tekstil, industri petrokimia juga terancam mati karena tingginya harga gas dalam negeri.
Tingginya harga gas dalam negeri dikeluhkan banyak industri, salah satunya PT Kaltim Parna Industri (KPI). Pabrik amoniak KPI atau pabrik petrokimia ini menggunakan gas bumi sebagai bahan baku. Bahkan, perseroan sudah menerapkan teknologi dengan tingkat efisiensi yang cukup tinggi.
Sistem pengoperasian sudah pabrik didesain dengan automatic system menggunakan fasilitas advanced process control pada saat kondisi normal. Meski demikian, seiring dengan turunnya berbagai harga komoditi beberapa waktu terakhir ini, tak terkecuali harga amoniak di pasar dunia, maka kendala yang dihadapi oleh KPI saat ini adalah tingginya harga bahan baku (gas alam) yang dibayar oleh KPI.
Akibatnya perusahaan sangat sulit bersaing dengan perusahaan lain terlebih dengan perusahaan luar negeri sejenis yang memproduksi amoniak.
"Tentunya apabila pemberlakuan harga gas yang tinggi ini berlanjut terus akan mengancam kelangsungan perusahaan ini. Tidak dapat dipungkiri, ancaman kelangsungan perusahaan yang telah turut membangun bangsa Indonesia ini, juga menjadi ancaman bagi Bangsa Indonesia," ucap Direktur Teknis PT Kaltim Parna Industri, Hari Supriadi di Jakarta, Jumat (23/9).
Menurutnya, jika harga gas bisa lebih murah, maka perusahaan dapat lebih berperan lagi di dalam program-program pemerintah di antaranya, meningkatkan peran dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan melalui Corporate Social Responsibilty (CSR), melakukan kerja sama dalam bidang pendidikan dan teknologi dengan institusi-institusi seperti perguruan tinggi dan lain sebagainya.
"Ini menjadi suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia, bilamana kita dapat bersaing, bahkan menjadi pemenang dalam pasar di Asia Pasific, terutama dalam industri petrokimia. Beberapa perusahaan asing telah belajar banyak di KPI, namun mereka bisa menjadi lebih besar dikarenakan harga bahan baku di negaranya jauh lebih rendah di banding dengan harga bahan baku (gas alam) yang dibayarkan oleh perusahaan swasta nasional ini," katanya.
Dengan harga bahan baku (gas alam) yang wajar dengan tingkat keekonomian yang sesuai dengan industri amoniak, maka KPI sebagai produsen Ammonia di Indonesia, berencana untuk mengembangkan unit bisnis seperti Soda Ash plant, Ammonium Nitrate, Caprolactam, Dry Ice plant.
"Hal ini akan menyerap banyak tenaga kerja baik tenaga ahli maupun tenaga non ahli dari seluruh penjuru nusantara, terlebih pada penduduk local di sekitar pabrik itu sendiri," kata Hari.
Lalu, apa sebenarnya yang membuat harga gas dalam negeri begitu mahal?
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Syamsir Abduh mengatakan, mahalnya harga gas di Indonesia disebabkan karena rumit dan panjangnya mata rantai perdagangan gas.
"Mata rantai terlalu panjang. Lima tingkat misalnya trader pertama, kedua dan seterusnya itu terlalu panjang," katanya dalam diskusi energi kita di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (18/9).
Anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi mengatakan, tingginya harga gas karena banyak trader atau penjual gas yang tidak memiliki fasilitas penyaluran seperti pipa gas.
"Saran saya langkah pertama menghilangkan titik titik inefisiensi terdapat trader yang punya infrastruktur atau yang hanya modal dengkul. Siapa pun orangnya harus dihapus dalam sistem keuntungan yang mereka serap jangan merugikan rakyat, merugikan kalangan industri," katanya.
Selanjutnya, Ekonom UI Faisal Basri mengatakan, pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 40 tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi. Akan tetapi, Perpres itu menimbulkan banyak masalah baru. Perpres menetapkan penurunan harga gas yang berlaku surut sejak Januari 2016.
Menurutnya, permasalahan harga gas ini disebabkan banyaknya pemburu rente gas atau trader bermodal kertas. Bahkan, dia memperkirakan terdapat 60 trader gas atau calo gas yang berbisnis tanpa memiliki infrastruktur gas bumi.
"Bertahun-tahun praktik bisnis gas tidak sehat tanpa penyelesaian yang menohok ke akar masalah. Salah satu akar masalah utama adalah bisnis gas dijadikan bancakan oleh para pemburu rente," ujar Faisal seperti dikutip dari blog pribadinya di Jakarta, Jumat (2/9).
Selain itu, dia menduga mahalnya harga gas di Indonesia lantaran perusahaan pemasok gas tak langsung menjual ke pembeli utama. Hal ini pernah terjadi di anak usaha Pertamina, PT Pertamina Gas (Pertagas).
Saat ini, Jokowi langsung turun tangan untuk menurunkan harga gas dalam negeri.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar harga gas untuk Industri dalam negeri ditekan hingga menyentuh ke angka USD 5 atau USD 6 per MMbtu ( Million Metric British Thermal Unit). Saat ini, harga gas industri berada pada angka USD 9,5 per per MMbtu.
"Saya minta dilakukan langkah kongkret agar harga gas kita lebih kompetitif. Saya kemarin hitung-hitungan, ketemunya saya kira antara USD 5 sampai USD 6," ungkap Presiden saat memberikan pengantar dalam rapat terbatas (ratas) penetapan harga gas untuk industri di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Selasa (4/10).
"Kalau enggak angkanya itu, enggak usah dihitung saja," tegas Presiden.
Mantan Wali Kota Solo ini menuturkan, harga gas untuk industri di Indonesia merupakan yang tertinggi se-ASEAN. Contohnya, negara Vietnam menetapkan harga gas untuk industri pada angka USD 7, Singapura pada angka USD 4.
"Padahal negara kita mempunyai potensi cadangan gas bumi yang cukup banyak, sangat banyak. Dan sebaliknya negara-negara tersebut baik Vietnam, Malaysia, Singapura ini dapat dikategorikan mengimpor gas bumi," ujar dia.
Oleh karena itu, Presiden menekankan, kementerian terkait harus segera membenahi harga gas untuk industri. Harga gas tersebut harus bisa memberikan implikasi pada daya saing industri secara global.
"Kita ingin di era kompetisi ini produk-produk kita bisa dan mampu bersaing dengan negara lain. Untuk itu, kita perlu memperkuat kembali industri kita bukan hanya semakin membuat produktif tetapi juga harus bisa berdaya saing, yang tangguh, yang juga kita ingin industri kita bisa ikut mensejahterakan rakyat," tandasnya.
Jokowi bahkan beri ultimatum kalau harga gas harus turun akhir November 2016.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menugaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan untuk menurunkan harga gas industri. Selain keduanya, Jokowi juga memberi tugas yang sama pada Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"(Tugasnya) agar finalisasi harga gas ini bisa diselesaikan selambatnya pada akhir November ini. Dan harganya dari USD 9,5 harus di bawah USD 6 per MMbtu," ungkap Sekretaris Kabinet, Pramono Anung usai mengikuti rapat terbatas (ratas) penetapan harga gas untuk industri di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Selasa (4/10).
Di lokasi yang sama, Airlangga Hartarto menuturkan, dalam ratas Presiden menekankan orientasi harga gas harus memberikan implikasi di sektor industri. Harga gas untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk diekspor harus dibuat sama.
"Pembangunan industri didorong melakukan substitusi impor. Didorong untuk memperkuat daya saing industri kita," ujarnya.
Mantan wakil bendahara DPP Partai Golkar ini mengaku sudah mengidentifikasi 11 industri di Tanah Air yang akan menjadi target penerapan harga gas seperti yang diinginkan Presiden. Namun dia tidak merinci nama-nama industri tersebut.
"Ini (industri) akan diperlukan perbaikan regulasi, terutama di hilir dan juga asumsi daripada mekanisme teknis seperti depresiasi. Dengan demikian, target capaian harga keekonomian gas sebagai pendorong ekonomi ini bisa dicapai," tutupnya.
Meski demikian, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku tak bisa langsung turunkan harga gas.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengaku tidak bisa langsung menurunkan harga gas untuk industri dalam negeri. Pihaknya masih melakukan kajian dan pertimbangan mendalam soal masalah ini.
Saat ini, harga gas untuk industri di Indonesia masih mahal dibanding negara ASEAN lainnya. Sekedar informasi, harga gas untuk industri di industri berada pada kisaran USD 8 - 10 per MMbtu. Sementara di Singapura yang gasnya impor dari Indonesia berada di kisaran USD 4 per MMbtu.
"Kita belum selesai. Kita masih dalam tahap melihat Capex itu yang bisa dirundingkan atau apa yang bisa diturunkan. Di Opexnya juga begitu," ujarnya di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Selasa (4/10).
Menurut Darmin, tingginya harga gas karena masih ada masalah dari hulu hingga hilir.
"Itu di hulu, kemudian di hilir tentu ada persoalan margin trader, persoalan toll fee yang masih kita bahas. Kita engga tahu nanti di sidang kabinet, tapi tadi belum ada keputusan atau angkanya," sambungnya.
Selain itu, lanjut Darmin, pertimbangan lainnya adalah manfaat dari barang modal dari harga gas untuk industri itu sendiri. Menurut dia, manfaat barang modal di Indonesia saat ini masih terlalu pendek depresiasinya.
"Masih ada yang perlu dicek dan dirundingkan, misalnya masa manfaat barang modal karena menurut kita ada yang terlalu pendek, terlalu cepat dibikin depresiasinya. Dan itu perlu perundingan, ga bisa diputuskan sepihak," pungkasnya. (merdeka.com)