WALHI Riau: Banjir dan Longsor di Sumatera Akibat Deforestasi

Rabu, 03 Desember 2025 | 12:04:51 WIB
https://www.youtube.com/watch?v=F-PFo7fhC9Q

PEKANBARU (RA) - Rentetan banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa hari terakhir dinilai bukan sekadar bencana alam.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau menegaskan, gelombang bencana ini merupakan akibat langsung dari deforestasi yang terus berlangsung tanpa kendali.

Dewan Daerah WALHI Riau, Darwis Jon Viker, menyebut apa yang terjadi di tiga provinsi tersebut adalah bencana ekologis yang sudah lama diperingatkan.

Menurutnya, pembukaan hutan besar-besaran untuk perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan pertambangan telah merusak benteng alami pengendali air di Sumatera.

"Ini bukan sekadar curah hujan ekstrem. Ini adalah dampak dari hilangnya tutupan hutan tropis yang seharusnya menjadi pelindung DAS dan penyangga ekosistem," ujar Darwis, Rabu (3/12/2025).

Darwis menjelaskan, Riau berada dalam situasi serupa dengan kerusakan ekologis yang semakin nyata. Lebih dari 4,9 juta hektare atau 55,48 persen wilayah Riau kini didominasi industri ekstraktif seperti konsesi perkebunan kelapa sawit dan tambang.

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI mencatat, sejak 1983 Riau telah kehilangan 5,37 juta hektare hutan alam, angka yang setara dengan 59,73 persen dari total tutupan hutan di masa lalu.

"Kerusakan ini membuat Riau semakin rentan. Geografinya yang berupa dataran rendah dan dilalui lima sungai besar membuat provinsi ini mudah diterjang banjir saat musim hujan," jelasnya.

Kajian Risiko Bencana Nasional 2022-2026 juga menunjukkan bahwa seluruh kabupaten/kota di Riau berada pada kategori risiko tinggi banjir. Namun hingga kini hanya Kabupaten Rokan Hulu yang menetapkan status siaga darurat hidrometeorologi.

Dengan dua provinsi tetangga, Sumut dan Sumbar, telah menetapkan status darurat bencana, WALHI Riau mengingatkan bahwa limpahan air dari hulu dapat mengancam Riau dalam waktu dekat.

Darwis menilai pemerintah daerah lamban dalam penyusunan mitigasi dan kesiapsiagaan, padahal regulasi nasional telah mengatur secara tegas kewajiban pemerintah dalam pencegahan bencana.

"Pulau Sumatera sedang dalam kondisi darurat. Jika Riau tidak mengambil langkah preventif segera, dampaknya bisa sangat besar bagi masyarakat," ujarnya.

Berbagai kebijakan teknis seperti PP 21/2008, UU 24/2007, hingga aturan pengelolaan DAS menurutnya tak dioperasionalkan secara optimal. Alih-alih mencegah, pemerintah lebih fokus pada penanganan darurat setelah bencana terjadi.

Selain banjir, Riau juga berhadapan dengan ancaman abrasi pantai, penurunan muka tanah, banjir rob, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

"Pemerintah terus mengulang pola reaktif yang mahal dan tidak menyelesaikan akar masalah. Selama deforestasi dan kerusakan DAS tidak dihentikan, bencana akan terus berulang," tegas Darwis.

Direktur WALHI Riau, Eko Yunanda, mengkritik keras strategi pemerintah daerah yang lebih mengedepankan penanganan ketika bencana sudah terjadi.

"Biaya sosial, ekonomi, dan ekologisnya terlalu besar. Tanpa memperbaiki tata kelola lahan dan menahan laju ekspansi industri ekstraktif, Riau akan terus berada dalam lingkaran krisis," katanya.

Eko menegaskan bahwa kerusakan lingkungan tidak mengenal batas administratif. Bencana di Sumatera Barat dan Sumatera Utara harus menjadi peringatan serius bagi Riau untuk mengambil langkah cepat berbasis pencegahan dan pemulihan ekosistem.

"Bencana hari ini adalah cermin dari kebijakan pro-ekstraktif yang bertahun-tahun mengabaikan keberlanjutan lingkungan," ujarnya.

Dengan kondisi hidrometeorologi yang semakin ekstrem dan kerusakan hutan yang terus berlangsung, WALHI menegaskan bahwa Riau membutuhkan langkah cepat, tegas, dan berbasis pencegahan, sebelum seluruh wilayah benar-benar jatuh dalam krisis ekologis permanen.

Terkini

Terpopuler