PWI Pulang ke Solo, Menyulam Persatuan di Rumah Kelahiran

Sabtu, 04 Oktober 2025 | 16:17:00 WIB
Monumen Pers Nasional.

SOLO (RA) - Sabtu (4/10/2025), Monumen Pers Nasional di Jalan Gajah Mada, Solo, kembali hidup dengan semangat wartawan dari seluruh penjuru Indonesia. 

Gedung bersejarah itu menjadi saksi ketika pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat periode 2025-2030 dikukuhkan.

Namun acara ini bukan sekadar pelantikan. Bagi banyak insan pers, momen itu terasa seperti perjalanan pulang ke rumah lama, tempat di mana segalanya bermula hampir delapan dekade silam.

Di kota inilah, tepat 9 Februari 1946, puluhan wartawan muda berkumpul. Mereka menanggalkan sekat organisasi lama lalu sepakat mendirikan satu wadah, Persatuan Wartawan Indonesia. 

Dari Solo, lahirlah rumah besar wartawan Indonesia, membawa semangat kebangsaan di tengah perjuangan mengusir penjajah.

Kini, hampir 80 tahun kemudian, PWI kembali ke Solo dengan kisah berbeda. Bukan lagi melawan kolonialisme, melainkan menyatukan diri setelah sempat dilanda perpecahan internal yang membuat roda organisasi tersendat.

Ketua Panitia, Anas Syahirul, menyebut pengukuhan kali ini sebagai awal yang baru. "Tidak ada lagi kubu Zulmansyah atau kubu HCB. Yang ada hanya satu PWI, PWI Persatuan," katanya yang disambut tepuk tangan riuh hadirin.

Ketua Umum PWI Pusat, Akhmad Munir, juga tak menutupinya. Ia menyebut organisasi pernah berada di titik nadir. "PWI saat itu tidak jalan. Tapi kita belajar, persatuan adalah kata kunci. Tanpa itu, organisasi lumpuh," ujarnya penuh penekanan.

Seperti ingin menebar harapan, sebelum acara dimulai, tiga penari membawakan tarian klasik Jawa, Rara Ngigel. Gerakan mereka mengalir lembut, seakan menyapu jejak masa lalu dan membuka jalan baru untuk pers Indonesia.

Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, hadir bersama Wakil Menteri Nezar Patria. Dalam sambutannya, Meutya menegaskan PWI bukan sekadar organisasi profesi. 

"PWI harus menjadi rumah yang aman sekaligus produktif, tempat lahirnya karya jurnalistik yang independen, berkualitas, dan dipercaya publik," katanya.

Meutya juga mengingatkan, media arus utama bersama PWI tetap menjadi garda terdepan menjaga akurasi informasi. 

"Mari kembali bersandar pada karya yang patuh etika jurnalistik. Media mainstream sejak awal menjaga bangsa ini, dan harus terus jadi rujukan," tegasnya.

Kehadiran tokoh-tokoh pers dari 38 provinsi menambah khidmat acara. Banyak di antara mereka menilai pengukuhan di Solo bukanlah kebetulan.

"PWI kembali ke akar, kembali ke tempat kelahiran," ujar salah seorang peserta.

Bagi warga Solo sendiri, acara ini terasa istimewa. Mereka menyaksikan gedung tua itu kembali ramai, seolah menghidupkan kembali kenangan 79 tahun lalu, ketika wartawan-wartawan muda dengan idealisme tinggi berkumpul di sana.

Monumen Pers Nasional, yang dahulu bernama Gedung Societeit Sasana Soeka, memang jadi saksi lahirnya PWI. Dari gedung ini, sejarah pers nasional ditulis, dan kini ia berdiri sebagai pengingat agar wartawan tak lupa akar perjuangan.

Surat keputusan pengurus PWI Pusat dibacakan Sekjen Zulmansyah Sekedang, menandai resminya kepengurusan baru. Semua mata tertuju ke podium, seolah ingin menegaskan bahwa rumah ini tetap milik semua wartawan.

Dan ketika acara usai, Solo seakan berbisik pelan "Inilah rumahmu, kembalilah." Setelah melewati kisruh, PWI pulang ke kampung halaman bukan sekadar bernostalgia, melainkan memulai perjalanan baru menjaga marwah pers Indonesia.

Dari Solo, kota kelahiran PWI, semangat persatuan kembali disulam. Dari kota ini pula, wartawan diingatkan bahwa pers bukan hanya profesi, melainkan panggilan jiwa untuk merawat keadaban bangsa.

Tags

Terkini

Terpopuler