KAMPAR (RA) - Secara historis, tradisi ziarah kubur di kalangan masyarakat Kampar, khususnya di Bangkinang, awalnya dilakukan secara personal oleh individu atau keluarga. Mereka datang berziarah ke makam orang tua dan karib kerabat yang telah wafat.
Salah satu anggota keluarga biasanya memimpin pembacaan surat Yasin, al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas, lalu disambung dengan lima ayat pertama surat al-Baqarah, Ayat Kursi, tiga ayat terakhir surat al-Baqarah, tahlil, dan ditutup dengan doa bersama. Dalam kesempatan itu, anggota keluarga yang dituakan sering memberikan nasihat dan petuah agama.
Tujuan utama dari tradisi ini adalah agar anak-anak dan keluarga senantiasa mendoakan orang tua serta kerabat yang telah mendahului. Amalan ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW:
"Apabila seorang manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim)
Bagi keluarga yang berziarah, momen ini juga menjadi pelajaran tentang kematian sebagai kepastian hidup. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, kematian adalah mauizah (nasihat) yang hendaknya menjadi pengingat bagi yang masih hidup.
Seiring waktu, ziarah yang semula bersifat personal berkembang menjadi kegiatan kolektif berbasis komunitas sosial, seperti RT/RW, dusun, hingga desa. Selain itu, di kalangan masyarakat Bangkinang, berlaku aturan adat bahwa seseorang dikuburkan berdasarkan sukunya.
Ini merupakan implikasi dari larangan menikah sesuku, demi menghindari konflik keluarga saat terjadi perceraian. Akibatnya, satu keluarga bisa saja memiliki anggota yang dimakamkan di tempat berbeda sesuai garis sukunya dari ibu.
Ketika ada anggota keluarga meninggal, mereka dikuburkan di tanah perkuburan suku masing-masing. Maka, dalam tradisi ziarah, satu keluarga dapat mengunjungi lebih dari satu perkuburan. Mereka menyambangi seluruh kuburan tempat kerabat dan orang tua mereka dimakamkan.
Kaitannya dengan Ayi Ayo Onam
Tradisi ziarah kubur ini beririsan dengan momentum Hari Raya Puasa Enam atau yang dikenal dengan sebutan Ayi Ayo Onam. Meski tidak secara langsung berkaitan, kedua tradisi ini bersinggungan dari sisi waktu. Orang tua kita dahulu—meskipun pendidikannya terbatas—sangat kuat dalam mengamalkan ajaran agama. Puasa enam hari di bulan Syawal, yang dimulai sejak tanggal 2 hingga 7 Syawal, dijalankan dengan penuh kesungguhan.
Keutamaan puasa ini dijelaskan dalam hadis dari Abu Ayyub Al-Anshari:
"Siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun penuh."
(HR. Tirmidzi)
Hadis lain dari Ibnu Umar menyatakan:
"Siapa yang menjalankan puasa Ramadhan dan menyertainya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka dosa-dosanya akan keluar seperti ia baru dilahirkan oleh ibunya."
(HR. Thabrani)
Setelah menyelesaikan puasa enam hari, masyarakat merayakan semacam hari raya kedua pada 8 Syawal. Pada hari itu, mereka membuat berbagai jenis makanan khas seperti rendang, lomang tapai, sari kayo, palito daun, katupek puluik, dan lain-lain. Salah satu kegiatan utamanya adalah kembali melakukan ziarah kubur dan mempererat silaturahim.
Tradisi ini kemudian diperkaya dengan hiburan rakyat untuk anak-anak seperti pacu goni, panjat batang pinang, makan kerupuk, tarik tambang, dan jujung botol. Namun belakangan, muncul hiburan-hiburan modern seperti musik yang berpotensi menimbulkan kerumunan dan pencampuran antara laki-laki dan perempuan secara tidak syar’i.
Fenomena ini perlu diluruskan. Sebuah tradisi baik tidak semestinya dibumbui dengan aktivitas yang bertentangan dengan syariat. Tradisi ziarah dan puasa enam hari semestinya dikembalikan pada ruh awalnya: sebagai bentuk pengamalan ajaran agama, sarana berdoa untuk orang tua yang telah wafat, dan pengingat bagi yang hidup agar selalu bersiap menghadapi kematian.
Perbuatan yang tidak sesuai syariat seperti duduk di atas kuburan, bercanda berlebihan, bersorak-sorai, meminta syafaat kepada yang telah wafat, hingga mengadakan kegiatan hura-hura di area makam, harus dihindari.
Tradisi Ayi Ayo Onam yang memadukan ziarah dan puasa enam hari adalah warisan budaya yang luhur. Ia tidak hanya memperkuat hubungan spiritual antara yang hidup dan yang telah meninggal, tetapi juga mempererat tali silaturahim antar sesama. Namun, sudah semestinya kita rawat dan lestarikan dengan semangat awal yang bersandar pada nilai-nilai Islam yang murni dan kearifan lokal yang terjaga.
Wallahu a’lam.
Oleh: Dr. H. Erman Gani, MA
Bangkinang, 07 Syawal 1446 H