RIAU (RA) - Dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 2025, Panitia HPN Riau menyelenggarakan Sarasehan Nasional Media Massa dengan tema "Preservasi Jurnalisme Sebagai Pilar Demokrasi Digital". Acara ini menghadirkan sejumlah tokoh penting di dunia jurnalisme untuk membahas tantangan serta peluang yang dihadapi media di tengah disrupsi digital yang semakin pesat.
Sarasehan ini dihadiri oleh empat orang pembicara terkemuka, antara lain Agus Sudibyo (Ketua Dewan Pengawas TVRI), Nurjaman Mochtar (Sekretaris Dewan Pakar PWI Pusat), Dhimam Abror (Ketua Dewan Pakar PWI Pusat), dan Hilman Hidayat (Ketua PWI Jawa Barat).
Diskusi dipandu oleh Djoko Tetuko, Ketua Dewan Kehormatan PWI Jatim, di salah satu hotel di Pekanbaru, Sabtu (8/2). Selain itu, turut hadir tokoh pers nasional seperti Tribuana Said, Ilham Bintang, Atal S. Depari, Asro Kamal Rokan, Dar Edi Yoga, dan Musrifah.
Agus Sudibyo mengungkapkan bahwa belanja iklan di Indonesia pada 2024 mencapai Rp107,291 triliun, dengan dominasi iklan digital sebesar 44,1%. Ia mencatat bahwa Google dan Facebook menguasai 75-80% dari total belanja iklan digital nasional, sementara media nasional hanya memperoleh sisanya.
"Di tengah fenomena ini, kita perlu mempertanyakan ke mana arah jurnalisme pers. Meski tantangannya besar, kebutuhan akan informasi berkualitas dan bertanggung jawab justru semakin mendesak," ujar Agus.
Ia menyoroti bahwa media sosial tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran media tradisional dalam menyediakan informasi akurat dan terverifikasi. Agus juga menekankan perlunya media nasional untuk mengadaptasi model distribusi konten yang lebih efektif melalui platform digital tanpa kehilangan kualitas dan integritas jurnalistik.
Nurjaman Mochtar menyoroti perubahan besar dalam pola konsumsi berita. Menurutnya, saat ini 80% sumber berita konvensional berasal dari media sosial, dan semakin banyak instansi yang membuat konten berita sendiri melalui portal serta media sosial mereka.
"Peran media mainstream ke depan mungkin lebih fokus pada verifikasi konten dan pertanggungjawaban terhadap Dewan Pers," ujar Nurjaman.
Ia menegaskan bahwa tantangan ini menuntut wartawan untuk lebih kritis dan adaptif terhadap perubahan teknologi.
Dhimam Abror menekankan pentingnya jurnalisme sebagai sarana untuk memperkuat demokrasi. Menurutnya, ruang digital saat ini telah menjadi medium strategis bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi.
"Ruang digital memungkinkan masyarakat untuk berpikir lebih kritis terhadap peristiwa yang terjadi, terutama dalam ranah politik. Tetapi, kita harus memastikan kualitas informasi yang beredar tetap terjaga," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa media harus tetap menjaga independensinya, akuntabilitas, serta keberagaman dalam menyampaikan informasi.
Hilman Hidayat menyoroti ancaman serangan siber yang semakin sering menimpa media digital. Ia mengungkapkan bahwa dari 40 ribu kreator konten dan wartawan yang memproduksi 15 ribu berita per bulan, sebanyak 12 ribu berita mengalami serangan dari hacker.
"Ada hal yang membahayakan jurnalisme, yaitu ancaman siber terhadap media online yang bisa berasal dari berbagai pihak, mulai dari tingkat desa hingga instansi yang lebih besar," jelasnya.
Ia menekankan pentingnya keamanan siber dan perlindungan data bagi media digital agar dapat terus menjalankan perannya secara independen dan profesional.
Sebagai moderator, Djoko Tetuko berhasil memfasilitasi diskusi produktif antara narasumber dan peserta. Diskusi ini menghasilkan berbagai ide dan solusi untuk menjaga agar jurnalisme tetap menjadi pilar demokrasi yang kuat di era digital.
Para narasumber sepakat bahwa meskipun tantangan bagi jurnalisme semakin besar, upaya preservasi dan adaptasi dengan teknologi harus dilakukan dengan tetap menjaga prinsip-prinsip dasar jurnalistik yang berfokus pada etika, akurasi, dan keberagaman. Jurnalisme berkualitas tetap memiliki peran penting di tengah gempuran media sosial dan disrupsi digital yang terjadi saat ini.