Riauaktual.com - Krisis populasi mengancam Thailand. Pemerintah Negeri Gajah Putih itu menggunakan bermacam-macam cara agar warganya mau berkeluarga dan punya anak. Mulai dari menyediakan tempat penitipan anak, mendirikan pusat kesuburan hingga influencer yang memperlihatkan keindahan hidup berkeluarga.
Thailand mencatat 544.000 kelahiran pada tahun lalu, sementara angka kematian sebanyak 563 ribu. Angka kematian itu juga merupakan dampak pandemi Covid-19. Jumlah kelahiran tersebut telah turun hampir sepertiga sejak 2013. Angka itu merupakan yang terendah dalam enam dekade terakhir.
Kondisi ini tak lepas dari trend yang berkembang di generasi kini. Sebagian tak lagi memiliki ketertarikan untuk melanjutkan garis keturunan.
“Data tersebut mencerminkan krisis populasi di mana pola pikir untuk memiliki anak telah berubah,” tutur pakar demografi di Universitas Thammasat, Teera Sindecharak, seperti dikutip dari Reuters, Senin (7/3).
Thailand lantas menawarkan berbagai solusi, seperti pengasuhan anak dan pusat kesuburan untuk penduduk dewasa. Influencer media sosial ditugaskan mengkampanyekan kegembiraan kehidupan berkeluarga.
“Kami mencoba untuk memperlambat penurunan kelahiran dan membalikkan tren agar keluarga mau memiliki anak lebih cepat,” jelas pejabat kesehatan, Suwannachai Wattanayingcharoenchai.
Pusat kesuburan dapat ditemukan di Bangkok dan kota-kota besar lain di 76 provinsi berbeda. Tetapi, sejumlah warga menilai langkah tersebut terlambat datang.
Wanita bernama Chinthathip Nantavong (44) memilih untuk tidak akan memiliki anak. Ia membuat keputusan itu dengan pasangan yang telah bersamanya selama 14 tahun. Mereka menganggap, membesarkan anak membutuhkan banyak pengeluaran.
"Biaya satu semester untuk taman kanak-kanak saya sudah puluhan ribu bath," kata Chinthathip. Terlebih lagi, imbuhnya, fasilitas perawatan dan kebijakan kesejahteraan tak begitu mendukung. Menurutnya, negara-negara lain memberikan tawaran yang lebih baik.
Keputusan Chinthathip dan penduduk lain yang sepemikiran bakal berimbas besar pada ekonomi Thailand. Sebab, negara itu mengandalkan tenaga kerja terutama dari kelas menengah yang bertumbuh, di saat kebanyakan populasinya orang tua,
Sebagai informasi, Thailand tengah merangkak menuju super-aged society. Yaitu negara dengan jumlah lansia yang mencakup seperlima dari keseluruhan populasi. Sekitar 18 persen penduduk Thailand berusia di atas 60 tahun. Rasio usia kerja dan lansia pada 2021 adalah 3:4. Para pejabat memprediksi perbandingan itu akan meningkat menjadi 1:7 pada 2040 mendatang.
Akibatnya, pemerintah harus menyiasati masalah tenaga dengan perkembangan teknologi. “Sektor manufaktur akan menghadapi penurunan produktivitas jadi kita harus mengembangkan tenaga kerja terampil dan mengadopsi penggunaan teknologi otomatis,” jelas Pichayanan.
Kepala Badan Perencanaan Negara, Danucha Pichayanan, menerangkan kondisi demografis tersebut muncul karena banyak masyarakat berpandangan membangun keluarga dan anak akan membebani keuangan. Bank of Thailand menunjukkan, utang rumah tangga tumbuh hampir 90% persen dari produk domestik bruto. Pada 2010, angka itu hanya berkisar di 59 persen.
Mereka kemudian memilih untuk memelihara kucing ketimbang memiliki anak manusia.
“Kelas menengah, pekerja kantoran atau orang-orang yang berusaha memenuhi kebutuhan memiliki pemikiran yang sama,” kata Chinthathip .
“Saat ini kami memiliki seekor kucing dan harganya tidak semahal anak-anak,” sambungnya.
Thailand tidak sendirian berjuang menghadapi masalah populasi. Tapi, negara itu tidak semakmur Jepang dan Singapura yang bisa bergantung pada pekerja migran untuk mendukung ekonomi mereka.
