Riauaktual.com - Peristiwa kematian Letnan Jenderal Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono masih begitu membekas bagi keluarga sang jenderal. Seiring bergulirnya sejarah, luka 52 tahun lalu itu sejatinya berangsur terobati, meski tak sepenuhnya sembuh, terlebih ketika mengingat bahwa M.T Haryono sempat merasakan firasat kematiannya malam itu.
Bahkan, sejumlah orang terdekat M.T. Haryono sempat mengingatkan bahaya yang mungkin dihadapinya. Saat itu, rencana penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal Angkatan Darat telah beredar di sejumlah kalangan. Sebagaimana yang dikisahkan dalam buku "Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965" karya.
Seorang ajudan bahkan telah mengingatkan M.T. Haryono perihal rencana penculikan terhadap sejumlah perwira dan jenderal Angkatan Darat yang dituduh terlibat dalam kelompok Dewan Jenderal, kelompok yang disebut-sebut tengah menggagas kudeta terhadap Presiden Soekarno.
"Bapak harus berjaga-jaga. Kabar mengenai rencana penculikan dan pembunuhan itu barangkali benar," ungkap ajudan M.T. Haryono dalam buku itu.
"Buat apa? Saya dan keluarga tak perlu dijaga!," jawab M.T. Haryono.
M.T. Haryono memang dikenal sebagai jenderal yang enggan menggunakan fasilitas negara, termasuk fasilitas pengamanan yang sejatinya wajib diberikan kepadanya. Dan akibat itu juga pasukan Carkabirawa dapat melenggang dengan mudah ke dalam rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat dini hari itu, 1 Oktober 1965.
Dipimpin Sersan Mayor Boengkoes, pasukan Cakrabirawa menjalankan misi penjemputan terhadap M.T. Haryono. Tak ada halauan berarti, pasukan Cakrabirawa hanya mendapati sosok Mariatni, istri dari M.T. Haryono yang membukakan pintu ketika itu.
"Bung Karno memanggil bapak. Ada rapat penting yang harus dihadiri bapak sekarang juga," ujar Boengkoes kala itu.
Menjawab pernyataan itu, Mariatni bergegas memanggil sang suami. Ketika itu, M.T. Haryono tahu betul, sesuatu yang buruk akan terjadi kepadanya. Ia lantas meminta istri dan anak-anaknya untuk segera mencari tempat untuk mengamankan diri.
"Kamu harus segera pindah kamar dan bangunkan anak-anak, karena mereka akan membunuh saya. Pindahlah ke kamar depan beserta anak-anak," ucap M.T. Haryono. Rupanya, perintah itu menjadi perintah terakhir dari M.T. Haryono kepada Mariatni. Sebab, beberapa menit kemudian ia harus meregang nyawa akibat berondongan senapan Thompson milik Sersan Mayor Boengkoes.
Firasat Keluarga akan Kematian M.T. Haryono
Satu hari sebelum peristiwa pembunuhan itu, seorang tentara menanyakan letak rumah M.T. Haryono kepada anak-anak sang jenderal yang spontan langsung menunjuk rumah mereka sendiri.
Sementara itu, firasat lain juga dialami oleh putri bungsu M.T. Haryono, Enda Marina. Enda menuturkan, satu malam sebelum peristiwa, Enda bermimpi sang ayah ditusuk tombak oleh sejumlah orang misterius hingga tak berdaya.
Firasat lain dialami oleh Harianto Haryono, anak sulung M.T. Haryono. Harianto menuturkan sebuah momen dimana sang ayah tiba-tiba mengajaknya mengobrol soal politik. Padahal, Harianto tahu betul, sang ayah tak pernah membahas permasalahan politik dengan anak-anaknya.
Bahkan, Harianto yang akrab disapa Babab mengutarakan sebuah petuah yang disampaikan oleh M.T. Haryono kepadanya.
“Bab, kalau kamu sudah besar nanti, sebaiknya hindarilah berpolitik. Karena politik itu sangat berisiko. Politik itu menghalalkan segala cara. Selagi kamu berada dalam satu kelompok, kelompok itu akan menganggapmu sebagai teman,” ucap MT Harjono pada Babab.
“Tetapi begitu kamu berpisah, kamu akan dianggap sebagai musuh. Persahabatan dan kebajikan yang telah kamu lakukan di masa yang sudah-sudah, akan mereka lupakan. Makanya kamu tak perlu masuk politik. Masuk tentara boleh, tapi masuk politik, sekali lagi, jangan!,” seru sang jenderal terakhir kalinya kepada sang putra.
Perjuangan Keluarga Meredam Dendam terhadap PKI dan Anteknya
Rianto Nurhadi, anak ke-tiga dari M.T. Haryono mengungkapkan perasannya terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta anteknya yang selama ini disebut sebagai dalang dari gerakan 30 September 1965 itu.
Kepada wartawan usai screening film "Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI" karya Arifin C. Noer, Rianto mengaku masih menyimpan rasa benci kepada PKI. Meski begitu, Rianto mengatakan, ia dan anggota keluarganya yang lain tak ingin larut dalam dendam yang tak berkesudahan.
"Kebencian kepada Aidit dan PKI tetap ada," kata Rianto.
"Kami tidak mau benci dan dendam itu berlarut-larut. Kami keluarga pahlawan revolusi dan keluarga PKI sama-sama jadi korban," tambahnya.
Sumber : okezone
