EKONOMI (RA) - Jelang penetapan pembacaan RAPBN 2017 saat ini, terdapat beberapa titik krusial akibat buruknya pengelolaan APBN 2015 dan 2016. Salah satu titik krusial itu adalah kebijakan pengampunan pajak alias Tax Amnesty yang diprediksi terancam gagal.
"Tax Amnesty terancam gagal, jadi jangan dimasukkan dalam asumsi RAPBN 2017. Sebelumnya asumsi tinggi Rp. 165 T itu hanya lah bahasa marketing Presiden," demikian disampaikan Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto di Jakarta, Senin (15/8/2016).
Menurut Yenny, saat ini hasil dari pengampunan pajak akan diasumsikan masuk sebesar Rp. 165 T dan total Rp. 11.000 triliun uang konglomerat yang ada di Iuar negeri. Rp. 165 T tersebut hanya diambil dari tarif uang tebusan kisaran 2-3% dalam setiap kategorinya. Dan dari evaluasi, target Rp. 165 tidak akan tercapai.
"Itu hanya bahasa marketing Presiden untuk menarik konglomerat," ujar dia.
Selanjutnya, kata Yenny, titik krusial lainnya adalah Penyertaan Modal Negara (PMN) BUMN tidak prioritas, namun Menteri Rini memastikan mengusulkan kenaikan lagi untuk mendorong holding dan super holding BUMN.
Rapat pemerintah dengan Komisi VI telah menetapkan perusahaan BUMN yang diusulkan menerima PMN tahun 2016 dalam APBN-P TA 2016 sebanyak 21 BUMN dengan total Rp. 47,820 triliun. Jumlah ini jika dijumlahkan dengan PMN sejak APBN-P 2015 (Rp. 68 Triliun) maka sebesar Rp. 115,8 Triliun.
Sayangnya, tujuan PMN ini tidak menghasilkan output pada peningkatan PNBP. Bahkan, kata dia, cenderung banyak dibagikan untuk elit partai karena BUMN masih dijadikan sapi perah oleh politisi.
"Kami konsisten menolak PMN BUMN tanpa didasari pada roadmap pembangunan BUMN yang jelas dan berpengaruh pada peningkatan PNBP," tukasnya. (rimanews)
