RIAUAKTUAL (RA) - Pengembangan teknologi akal imitasi (Artificial Intelligence, AI) kian cepat belakangan ini. Di balik kenyamanan, efisiensi, dan kemudahan diberikan, ada bahaya yang menanti. Apalagi kalau kita, manusia, yang memakainya terlalu bergantung dan tak kritis memakainya.
Artificial intelligence perlahan mulai menggerus peran manusia dan bergerak ke arah dominasi. Karya nyata dan produk imitasi dari teknologi pun semakin kabur bedanya.
Hilangnya batas-batas alamiah manusia yang makin terlampaui oleh teknologi ini yang menjadi bahasan utama dari buku ‘Retasnya Batas di Tengah Dominasi Artificial Intelligence’. Tirto berkesempatan berbincang dengan Firman Kurniawan, penulis buku ini.
Dalam perbincangan pada selasa (25/6/2025) lalu, kami banyak berdiskusi mengenai teknologi AI dan batas-batas yang mulai melampaui kerja manusia. Diskusi kami juga membahas soal perbedaan masa sebelum dan setelah AI menjadi populer di dunia.
Pada akhirnya kami berkesimpulan, teknologi, termasuk AI, pada dasarnya ada untuk membantu manusia. Namun, yang tak boleh kita lupa, produk seperti akal imitasi –setidaknya yang tersedia saat ini– masih banyak keterbatasannya.
Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis yang menjadikan manusia makhluk unggul, harus tetap menjadi modal utama. Ketika kita semakin mengendurkan penggunaan kemampuan berpikir kritis, siap-siaplah untuk dikalahkan teknologi.
Lalu bagaimana kita harus menindaklanjuti perkembangan AI ke depannya? Simak petikan wawancaranya berikut:
Apa alasan bapak punya ketertarikan khusus dengan AI? Sejak kapan membahas hubungan antara manusia dengan teknologi?
Sebetulnya pembahasan tentang artificial intelligence ini baru terjadi sekitar 2022, itu waktu dirilisnya ChatGPT. Tetapi perhatian saya terhadap teknologi dan kaitannya dengan manusia, itu berawal dari penulisan disertasi doktor saya. Waktu itu saya menulis tentang manusia di abad informasi. Mengikuti pemikirannya Manuel Castells. Dari penulisan itu, sebetulnya pertanyaan akhirnya adalah; di mana autentisitas atau keaslian, kehakikian manusia itu ketika berhadapan dengan teknologi? Kalau kita ikuti terus teknologi yang semakin berkembang, manusia yang kemudian diarahkan oleh teknologi, itu manusia akan kehilangan autentisitasnya.
Dari disertasi tersebut, kemudian saya ingin membumikan atau ingin membuat menjadi bahasa yang dapat dimengerti banyak orang. Itu saya kemudian memecah tema besar dari disertasi saya itu menjadi tulisan-tulisan kolom di media. Itu mengambil kasus-kasus yang terjadi hampir setiap hari kita berelasi dengan teknologi.
Kemudian saya bahas, ada teorinya yang saya sampaikan dengan ringan, dengan narasi. Kemudian saya kumpulkan itu tulisan-tulisan menjadi 52 tulisan dan berkesinambungan mulai 2019 sampai hari ini menjadi lima buku.
Kalau kita mundur dari 2025, mundur ke lima tahun ke belakang, maka 2019-2020 itu bahasanya tentang media sosial, kemudian tentang etika media sosial, peluang media sosial untuk membangun ekonomi, untuk pendidikan, untuk budaya. Kemudian hari ini ketika kita diwarnai dengan pembicaraan artificial intelligence, maka itu merupakan kesinambungan dari pembahasan teknologi digital. Seperti itu.
Apa yang membedakan era digital saat ini (era artificial intelligence) dengan era digital sebelum ini?
Mungkin satu soal kapasitas. Jadi, kalau di teknologi sebetulnya memang banyak data digunakan, kemudian digunakan untuk menyusun algoritma, sama sebetulnya di artificial intelligence juga seperti itu, tapi jumlah kapasitas data yang bisa disimpan, diolah, kemudian menghasilkan sebuah output itu di era artificial intelligence lebih masif. Kalau kita lihat juga di era teknologi yang sebelumnya, yang kita sebut sebelumnya, itu (era) media sosial tadi, itu lebih banyak untuk berinteraksi, untuk berkomunikasi.
Memang ada output-output yang mewarnai budaya kita, kehidupan kita menjadi berubah. Sehingga kan sering di era media digital itu disebut industri 4.0, karena ada disruption di situ. Semua praktek-praktek lama yang terbawa mulai zaman teknologi mesin uap, itu sudah berubah total di masa teknologi informasi industri 4.0.
Di era artificial intelligence, kemampuan itu berlipat. Kalau kita lihat, artificial intelligence ada yang artificial narrow intelligence itu, mempunyai kemampuan yang spesifik, misalnya membukakan pintu secara otomatis, kemudian atau mengenali wajah seseorang yang bisa diterima masuk ke dalam rumah atau tidak masuk. Kemudian kalau di bidang jurnalisme, memilah ini informasi tentang olahraga atau tentang keuangan, mereka bisa membedakan secara narrow. Kemudian kan berkembang menjadi generatif AI yang kemampuannya lebih luas, menghasilkan bukan hanya untuk memprediksi sebuah realitas.
Ketika seseorang mempunyai kebiasaan tertentu yang demikian banyak, kemudian kita tanya kalau perilaku berikutnya dengan data yang sebelumnya sudah dimasukkan akan seperti apa. Artificial intelligence bisa membaca itu. Kemudian nanti akan berkembang lebih lanjut lagi artificial general intelligence yang sangat luas, yang kecerdasannya katanya melampaui manusia, yang kemudian itu menjadi “ancaman bagi relevansi manusia”.
Itu perkembangannya sangat signifikan dan bedanya sangat kontras, sehingga tema-tema pembicaraan tentang bagaimana nasib manusia itu justru terjadi di era artificial intelligence dan di era sebelumnya tidak terlalu terjadi, walaupun memang ada replacement seperti itu.
Apakah berarti AI ini malah memberi dampak yang lebih negatif?
Tergantung dari perspektif kita memandangnya ketika itu digunakan sebagai tadi alat yang meningkatkan kapasitas kemampuan manusia. Jadi, kalau kita lihat dari Veo 3 tadi, itu kan menerjemahkan apa yang menjadi gagasan, ide, konsep orang yang sifatnya abstrak. Kemudian terartikulasi menjadi konkret. Itu kan sesuatu yang harus kita sambut dengan gembira.
Seorang guru yang tadinya bersusah payah menjelaskan proses fotosintesis, tapi dengan dia memerintahkan menggunakan prompt pakai aplikasi tadi, itu tergambar, seperti apa fotosintesis itu terjadi. Dalam hal ini akan lebih mudah mentransformasi informasi pendidikan kepada siswa-siswanya.
Tetapi kalau kemudian digunakan oleh para petualang politik untuk yang penting mencapai kemenangan, para ahli pemasar untuk mempersuasi, tapi kemudian produknya sebetulnya kemampuannya tidak seperti itu, itu tentu membahayakan dan merugikan. Jadi, tergantung ada di tangan siapa artificial intelligence ini.
Apakah malah bisa manusia yang terdominasi AI?
Sangat mungkin. Jadi, rasanya kita tidak perlu menunggu sampai AI itu mampu berpikir seperti manusia. Jadi, manusia itu kan selain kecerdasan, dia juga mempunyai kesadaran, juga mempunyai naluri. Nah, yang hari ini bisa diproduksi oleh artificial intelligence itu kan kecerdasan.
Nah, tentang kesadaran, tentang naluri, dan sebagainya ini masih jadi tanda tanya. Apakah ke depan akan bisa? Ray Kurzweil bilang jalan keluarnya adalah sinergi antara manusia dengan perangkat yang sangat canggih, karena mesin secara teoritis sampai kapanpun tidak tahu itu cara memproduksi naluri. Mesin tidak bisa memproduksi kesadaran. Nah, digabung saja mesin yang sangat canggih dengan manusia yang punya naluri dan punya kesadaran itu. Tetapi belum sampai ke sana saja sebetulnya dengan kecerdasan yang begitu berlipat-lipat. Contohnya para penulis skrip film di Amerika. Dengan kemampuan artificial intelligence memproduksi skenario film, pekerjaan mereka terdesak.
Para jurnalis hari ini di Amerika, di Inggris, di negara-negara Eropa, dan mulai terasa di Indonesia, itu juga pekerjaannya mulai diintip-intip oleh artificial intelligence. Jadi juga para dokter yang selama ini mengandalkan kemampuan pancainderanya, melihat wajah pasiennya, meraba tubuh pasien yang dihadapi, hari ini bersaing dengan peralatan-peralatan yang bersensor, yang bisa lebih akurat mendeteksi penyakit pasiennya.
Nah ini ketika tidak digunakan secara sistematis, AI ini akan menggusur manusia, bukan sekedar mendominasi. Kalau dominasi itu bayangan saya dari 100 orang, 80 orangnya itu digantikan oleh artificial intelligence, kemudian hanya sisa manusia beneran 20. Tapi kalau menggusur ini bisa benar-benar habis itu orang, kemudian semuanya diganti oleh artificial intelligence.
Nah, itu kalau tidak hati-hati memperlakukan artificial intelligence ini, pekerjaan kita memang betul-betul terancam. Soal AI hallucination sebagai salah satu kelemahannya.
Lalu, dengan pemahaman terhadap AI seperti saat ini, akan menjadi seperti apa dunia yang kita ke depan?
Tidak bermaksud pesimistis, tapi yang jangka pendek. Hari ini kita itu merasa semakin sulit percaya pada dunia. Kita sekarang hidup pada dunia yang semakin sulit dibedakan yang mana yang asli, yang mana yang artificial. Bahkan realitas yang kompleks pun itu sekarang bisa diproduksi oleh artificial intelligence.
Nah, apakah kemudian kita menyerah? Ya, memang begitulah konsekuensi dari maraknya artificial intelligence? Tentu tidak. Nah, ini kita tadi dengan cara berpikir kritis, mengetahui apa kelemahan artificial intelligence, kemudian bahwa cara bekerja artificial intelligence adalah data yang kemudian dipelajari secara deep learning oleh perangkat, maka cara untuk kita tadi kembali pada fungsi manusia yang berpikir dan berakal adalah terus-menerus learning, terus-menerus belajar. Tadi akhirnya akan bisa membedakan yang mana yang AI produk dan mana yang human product.