RIAUAKTUAL (RA) - Seiring dengan semakin meluasnya penggunaan gim daring (online game) di kalangan anak-anak, mereka jadi rentan terhadap kekerasan dan pelecehan.
Salah satu kasus yang baru-baru ini dilaporkan adalah di permainan Roblox, yang utamanya menggaet anak-anak. Terlihat ada konten seksual yang eksplisit di gim ini.
Lewat permainan Roblox yang utamanya menggaet anak-anak misalnya, tampak konten seksual yang eksplisit dan menandakan minimnya ruang aman untuk anak.
Akibat kerentanan ini, gim ini bahkan sudah diblokir di Turki sekira Agustus tahun lalu, lantaran adanya kasus-kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak-anak. Pemblokiran tersebut ditangani oleh Pengadilan Pidana Perdamaian ke-6 Adana, berbasis Undang-Undang (UU) Tata Kelola Internet Turki yang disahkan pada tahun 2007, yang kemudian diperbarui pada tahun 2020, untuk melarang akses ke Roblox.
UU tersebut menguraikan konsekuensi yang bisa segera berlaku. Jika pengadilan memutuskan konten pada platform daring melanggar hukum, maka presiden Otoritas Teknologi Informasi dan Komunikasi memiliki waktu 24 jam untuk meninjau keputusan tersebut. Usai larangan diputuskan, implementasinya harus dilaksanakan dalam waktu empat jam saja.
Fenomena pelecehan di Roblox sebenarnya hanyalah satu contoh kasus dari kekerasan anak di gim yang kini marak. Pada April lalu, seperti dilaporkan Media Indonesia, Direktorat Reskrimsus Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Selatan telah menangkap pelaku kekerasan seksual anak dengan modus pertemanan lewat gim daring.
Dalam kasus tersebut, pelaku diketahui menawarkan jasa menaikkan ranking Mobile Legends kepada korban. Setelah korban percaya dan memberikan akun Google beserta password yang diminta, pelaku memaksa korban mengirimkan foto intim. Gambar itu lalu disebarkan pelaku di jagat maya, tanpa persetujuan.
Di kejadian lainnya, yang tercatat terjadi Februari lalu, terungkap modus lain pelaku pelecehan terhadap anak, yakni menyamar sebagai teman sebaya di gim online. Bermula dari memulai interaksi, ujung-ujungnya pelaku meminta korban mengirimkan foto atau video intim.
Fenomena ini juga populer disebut sebagai child grooming, alias tindakan membangun kepercayaan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak, dengan tujuan seksual atau eksploitasi lainnya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sebelumnya telah menjelaskan, grooming dalam permainan daring dilakukan dengan cara pelaku berkenalan dengan anak, lalu misalnya membelikan anak ‘diamond’ ataupun ‘gimmick’ yang disediakan oleh permainan daring.
Ini dijadikan iming-iming, agar karakter anak di gim menjadi lebih keren dan mendapat banyak likes. Kemudian, pelaku dan korban akan bercakap-cakap melalui ruang chat di dalam permainan daring tersebut, hingga akhirnya meminta kontak pribadi anak.
“Dengan perlakuan-perlakuan tersebut, anak menganggap bahwa pelaku adalah sosok istimewa karena dapat mengerti dan memahami anak, menjadi teman bercerita dan menjaga rahasia. Para pelaku biasa menggunakan akun palsu dengan foto profil menarik,” ujar Nahar, yang saat itu menjabat Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, dikutip dari rilis resminya, Kamis (2/5/2024).
Maka, katanya, jika seseorang meminta informasi pribadi seperti foto, alamat rumah, nomor telepon, atau sekolah, itu bisa menjadi tanda bahaya. Hal ini perlu menjadi perhatian orang tua atau para pendamping anak-anak.
Difasilitasi Teknologi
Sama halnya seperti kekerasan-kekerasan berbasis daring lainnya, kekerasan terhadap anak di gim online juga difasilitasi dan diamplifikasi oleh teknologi. Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Andy Ardian, mengungkap kalau teknologi memfasilitasi kejahatan jadi semakin kompleks.
“Kejahatan-kejahatan, eksploitasi seksual anak, atau kekerasan seksual anak itu kan dilakukan offline, tapi dengan teknologi saat ini tuh bertransformasi ke arah digital gitu. Yang paling memudahkan bagi mereka untuk menjangkau anak, ya itu di platform-platform sosial media, kemudian aplikasi perpesanan, plus game online,” kata Andy saat berbincang lewat telepon, Selasa (8/7/2025).
Menurutnya, pendekatan paling mudah untuk mengajak ngobrol anak yakni lewat kesukaannya, salah satunya yaitu gim daring. Gim menjadi platform yang dinilai Andy sangat kendor terhadap regulasi.
“Meskipun sudah ada kategori usia, tapi anak di bawah umur itu pun bisa pakai game itu kan dan itu dibiarkan gitu loh. Platform ini juga nggak pernah peduli dengan kondisi itu, cuma hanya membuat rating atau ada rating klasifikasi game-nya tapi nggak pernah ada upaya untuk penanganan ke situ,” sambungnya.
Dengan begitu, selama aplikasi gim menyediakan sarana untuk bisa berkomunikasi, di situ pula akan menimbulkan potensi terjadinya grooming, yang mana ketika anak terjebak, maka mereka akan sulit keluar dari situasi itu.
“Ketika sudah terjebak aja, misalnya diajakin ngobrol soal seksualitas, itu sudah akan menjadi senjata buat pelaku untuk memeras si anak gitu,” kata Andy.
Aturan soal gim online disebut Andy dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik Dalam Pelindungan Anak (PP TUNAS).
Pasal 2 ayat (1) menegaskan kalau Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) wajib memberikan perlindungan bagi anak yang menggunakan atau mengakses sistem elektronik. Dalam memberikan perlindungan, PSE wajib menyediakan informasi mengenai batasan minimum usia anak yang dapat menggunakan produk atau layanannya, mekanisme verifikasi pengguna anak, dan mekanisme pelaporan penyalahgunaan produk, layanan, dan fitur yang melanggar atau berpotensi melanggar hak anak.
Akan tetapi, menurut Andy, tantangan implementasi aturan ini yakni belum adanya standar yang jelas soal bagaimana platform-platform digital bisa mengategorikan usia anak. Ia menyampaikan bahwa pihaknya sedang menunggu peraturan pelaksanaan dari PP Tunas itu sendiri.
“Karena kan kalau di PP Tunas itu kan hanya menyebutkan bahwa platform digital tidak boleh untuk mengambil data anak, kemudian melakukan upaya untuk pelindungan anak gitu ya, tapi tidak diberikan perangkat ataupun teknologi yang bisa membantu platform digital untuk itu, atau guidance yang lebih rigid, lah, untuk upaya-upaya pelaksanaan dari PP Tunas itu,” sambung Andy.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, pun menyoroti istilah safety by design, yang umumnya dipakai oleh perusahaan. Keamanan itu perlu dipastikan sudah sejauh mana dan monitoring serta evaluasinya seperti apa.
“Penegakan hukum ini juga perlu didukung upaya cepat dan responsif dari kepolisian mengungkap kasus dan menelusur pelaku-pelakunya. Upaya ini menjadi bagian dari pemenuhan hak anak korban atas akses keadilan dan pemulihan. Salah satu komponennya adalah proses hukum yang cepat, transparan, dan akuntabel,” kata Dian kepada Tirto, Rabu (9/7/2025).
Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid, saat membuka forum Indonesian Woman In Game (IWIG) BeautyPlayConnect di Bandung, Sabtu (5/7/2025) lalu, sempat menyinggung soal perlindungan anak dalam gim online.
Ia mengaku ingin industri gim di Indonesia terus tumbuh secara sehat, tetapi pada saat yang sama, juga menerima banyak sekali keluhan dari para orang tua tentang konten-konten yang tidak sesuai untuk anak-anak.
“Kami tidak melarang gim, tetapi kami menunda akses konten kepada pengguna yang belum cukup usia. Ini bukan soal sensor, tapi soal tanggung jawab bersama dalam menciptakan ruang digital yang aman dan sehat,” katanya, menukil Antara.
Meutya mencontohkan, gim dengan tingkat kekerasan atau tingkat adiksi tinggi hanya bisa diakses oleh pengguna berusia minimal 16 tahun dengan pendampingan orang tua, dan secara mandiri setelah usia 18 tahun.
Perlunya Penyamaan Persepsi dan Edukasi Masif
Selain dorongan kepada pemerintah terkait regulasi, upaya pencegahan pelecehan anak di lingkungan gim online juga penting dilakukan oleh orang tua, pendamping, dan komunitas. Andy sendiri menggarisbawahi soal perlunya membangun satu pemahaman terkait dengan kerentanan gim online.
“Apakah misalnya di gim itu terjadi akses komunikasi dua arah atau bisa private gitu ya, itu kan semakin membangun kerentanan kalau misalnya bisa private,” ungkapnya.
Selain itu juga penting untuk mengetahui fitur-fitur yang disediakan oleh sebuah gim, seperti contoh, di Roblox, seseorang bisa membangun komunitas atau dunia gim sendiri, yang bisa mengundang atau menggunakan server sendiri.
“Nah itu juga punya inti kerentanan tersendiri gitu, dan memang di gim ini kan sebenarnya juga penuh dengan apa ya, unsur kekerasan, juga kemudian stereotip gender juga gitu,” kata Andy.
Misalnya, kalau laki-laki digambarkan sebagai sosok macho dengan pakaian perang sangat lengkap dan bahkan melindungi seluruh tubuh. Sementara perempuan ditekankan bukan pada sisi proteksinya, tapi malah sisi femininnya.
“Kalau perempuan pakai pakaian minim proteksi perlindungan, yang sangat terbatas gitu kan. Sangat kontras sebenarnya dan di situ juga ada unsur-unsur seksualitas yang muncul. Nah itu kan menjadi satu hal yang kadang-kadang menjadi hal yang umum ya bagi anak-anak secara nggak langsung itu kan sebenarnya akan membuat perubahan politik kepada anak-anak sendiri,” lanjut Andy.
Alhasil, tanpa pengawasan yang mumpuni dan regulasi yang jelas mengatur industri gim, anak-anak bakal dipertontonkan dengan seksualitas dan stereotip gender, dan yang paling parah, menjadi korban kekerasan dan pelecehan.
Oleh karenanya, Dian dari KPAI mendorong adanya edukasi dengan berbagai cara dan masif, yang menyasar banyak kalangan. Masyarakat perlu diberi ruang untuk terlibat dalam edukasi pencegahan kekerasan.
Kata Dian, masif berarti tidak hanya dilakukan edukasi setahun sekali sewaktu hari anak saja atau ketika ada kasus mencuat. Lebih jauh, edukasi ini dijadikan program wajib semua kementerian/lembaga, termasuk sekolah hingga pemerintah desa.
“Di sisi yang lain, penegakan aturan sangat penting ya. PP Tunas salah satunya untuk menekankan tanggung jawab sektor swasta sebagai pembuat dan pengelola produk dan layanan elektronik. Tanggung jawab ini tidak hanya tutup/blokir akun. Namun perlu diarahkan ke tanggung jawab untuk ikut mendukung pemulihan korban dan tanggung jawab mengedukasi masyarakat,” ungkap Dian.
Ia mengingatkan soal praktik kekerasan terhadap anak yang tidak hanya melalui kontak fisik dengan pelaku, akan tetapi juga meliputi aktivitas non kontak yang bisa berpotensi terjadinya kekerasan terhadap anak.
“Terlebih dengan dunia digital yang sangat dekat dengan anak. Potensi terjadi kekerasan di sana juga tinggi, meski anak tidak berkontak fisik dengan pelaku,” kata Dian.