PELALAWAN (RA) - Sebuah video yang beredar luas di media sosial menggugah emosi publik. Dalam rekaman tersebut, tampak puluhan anak berseragam merah putih duduk di atas tanah beralaskan terpal, berlindung dari panas di bawah pohon-pohon sawit.
Mereka bukan sedang bermain, melainkan mengikuti hari pertama sekolah di tengah kondisi yang jauh dari kata layak.
Video itu diketahui direkam di Dusun Toro Jaya, Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau.
Anak-anak ini merupakan warga yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), lokasi yang kini menjadi sengketa antara masyarakat dan pemerintah.
Kondisi tersebut terjadi usai pemerintah melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) mengambil alih lahan yang digarap warga, termasuk lahan tempat berdirinya SD 20 Dusun Toro Jaya.
Sekolah itu kini dilarang menerima murid baru karena berada dalam kawasan hutan konservasi. Dampaknya, 58 anak yang seharusnya memulai pendidikan dasar secara resmi, harus belajar di kebun sawit.
"Kami tidak punya pilihan. Anak-anak ini semangat sekali ingin sekolah di hari pertama, jadi kami bangunkan tenda darurat dari terpal agar mereka bisa tetap belajar," ujar Abdul Aziz, juru bicara warga setempat, Rabu (16/7/2025).
Aziz menuturkan, sebenarnya SD 20 sempat menjadi kelas jauh dari SD Negeri 003 Desa Lubuk Kembang Bunga dan baru pada September 2024 lalu, dan disahkan sebagai sekolah negeri.
Namun setelah pemerintah menyita lahan karena berada dalam TNTN, hanya siswa kelas 2 hingga 6 yang diizinkan melanjutkan. Sementara siswa baru tidak boleh lagi diterima.
Warga pun diminta menyekolahkan anak-anak mereka ke SD induk di Desa Lubuk Kembang Bunga. Namun jaraknya cukup ekstrem, sekitar dua jam perjalanan dari Dusun Toro Jaya.
"Tak mungkin anak usia tujuh tahun menempuh perjalanan sejauh itu setiap hari. Maka kami cari alternatif belajar seadanya di luar kawasan TNTN,” ucap Aziz.
Suasana hari pertama sekolah itu pun jauh dari ceria. Anak-anak terlihat kepanasan, beberapa bahkan mengipas tubuhnya dengan topi sekolah. Orangtua mereka ikut duduk di sekitar lokasi, tak kuasa menahan air mata melihat anak-anak belajar dalam kondisi seperti itu.
"Seperti berada di zona perang," kata Aziz.
"Tidak ada solusi dari pemerintah, tidak ada toleransi. Seolah-olah ini hukuman turun-temurun. Orangtuanya dihukum, anak-anaknya pun ikut menderita," imbuh Aziz.
Menurutnya, pendidikan tidak seharusnya jadi korban dari persoalan hukum lahan. "Ini bukan sekadar soal legalitas, tapi soal masa depan anak-anak. Pemerintah harus hadir, bukan membiarkan warga mencari jalan sendiri," tegasnya.
Untuk hari kedua, warga telah berinisiatif mencari tempat belajar yang lebih aman dan nyaman. Sebuah musala di luar kawasan hutan kini dijadikan tempat belajar sementara.
"Kami berusaha semaksimal mungkin agar anak-anak tetap bisa merasakan sekolah meski dengan segala keterbatasan," kata Aziz.