2020, Politik Tenang, Ekonomi Tegang

2020, Politik Tenang, Ekonomi Tegang
Foto: Istimewa

Riauaktual.com - Tahun 2020 sudah di pelupuk mata. Seperti apa kondisi politik dan ekonomi di tahun depan? Prediksinya, politik lebih menenangkan, sedangkan ekonomi lebih menegangkan.

Sejak awal Desember lalu, sejumlah analis ekonomi sudah memberikan gambaran ekonomi tahun depan. Secara umum, analisa mereka hampir serupa. Tantangan ekonomi tahun depan akan semakin banyak. Harga komoditas turun, perlambatan ekonomi global akibat perang dagang AS dan China dan sebagainya.

Pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah pada angka 5,3 persen, diprediksi tak akan terealisasi. Sebagian prediksi itu diamini Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, Jumat lalu. Kata dia, perekonomian 2020 memang bakal buram. Kondisi ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Tapi juga dialami negara-negara lain.

Menurut dia, salah satu tekanan paling berat dihadapi Indonesia adalah anjloknya harga komoditas yang gila-gilaan. Harga batu bara merosot hingga 45 persen. Begitu juga dengan minyak kelapa sawit. Padahal, dua komoditas itu jadi andalan ekspor.

Dengan kondisi ini, Suhariyanto memprediksi, Indonesia akan kesulitan memperbaiki kinerja ekspor. Dalam kondisi seperti ini, dia berharap pemerintah memperkuat konsumsi domestik, dengan menjaga inflasi. “Juga mulai menggerakkan industri manufaktur dengan hilirisasi,” katanya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani punya analisa serupa. Kata dia, proyeksi ekonomi tahun depan akan sama dengan tahun ini, yaitu di kisaran 4,9-5,1 persen.

Persoalan perlambatan ini masih ada pada tingkat investasi yang cenderung stagnan. Dia menilai, pemerintah saat ini sebenarnya punya modal lebih untuk meningkatkan perekonomian. Mulusnya transisi kepemimpinan di pilpres kemarin berdampak positif pada iklim usaha. Kondisi politik lima tahun ke depan diprediksi akan stabil. Tak akan ada gonjang ganjing yang bikin pengusaha wait and see.

Tantangannya ada pada efektivitas tata kelola pemerintahan pusat dan daerah. Dia berharap, pemerintah dapat meningkatkan optimalisasi kinerja industri melalui sinergi industri hulu dan hilir. Di samping itu, ada perbaikan kebijakan di bidang ketenagakerjaan dan perpajakan. “Ini demi mendukung daya saing industri,” kata Haryadi, kemarin.

Pengamat ekonomi dari Indef, Bhima Yudhistira menganalisa, ekonomi 2020 memang akan mengalami perlambatan yang cukup parah. Dia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi 2020 hanya akan berkisar 4,8 persen. Konsumsi rumah tangga yang merosot bukan hanya karena ekonomi global atau perang dagang.

Tapi juga karena rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS kesehatan, dan rencana pencabutan subsidi listrik 900 VA. “Di luar kena gebuk, di dalam kena gebuk juga. Alhasil, daya beli kelas menengah akan anjlok tajam. Padahal, konsumsi yang diharapkan jadi penopang utama pertumbuhan,” kata Bhima kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.

Pengamat ekonomi dari UII Yogya karta, Prof Edi Suwandi Hamid mem per kirakan, hal serupa. Kata dia, dalam beberapa tahun terakhir, target-target ekonomi kita tidak pernah tercapai. Pertumbuhan ekonomi mandek di angka 5 persen.

Dalam lima tahun ter akhir hanya 5,1 atau 5,2 persen, tak pernah lebih. “Tahun depan tentu akan lebih berat lagi,” kata Edi saat dikontak, tadi malam. Kondisi ini ditambah dengan penerimaan dari pajak tahun ini yang meleset dari target.

Tiga minggu sebelum tutup buku, penerimaan dari pajak masih kurang sekitar Rp 441 triliun. Tentu ini akan berpengaruh pada pendapatan tahun depan. Ruang fiskal semakin sempit.

Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari menganalisis situasi politiknya. Kata dia, situasi politik pada 2020 diprediksi stabil dan kondusif. Tak ada kegaduhan politik seperti pada pilpres atau Pilgub DKI Jakarta. partai-partai besar juga sudah menggelar Munas. Gelaran pilkada juga banyak digelar di luar Jawa. Jauh dari pusat pemerintahan. “Perlu diantisipasi blunder-blunder politik yang menimbulkan kemarahan atau protes dari rakyat dalam skala yang massif,” kata Qodari.

Contohnya, kata dia, seperti kontroversi RUU KUHP yang menciptakan gelombang protes besar, karena RUU tersebut menyita perhatian banyak kalangan. RUU KUHP mengatur setiap kehidupan masyarakat mulai dari lahir sampai kematian, ketika ada yang tidak sesuai dalam rancangan undang-undang tersebut, maka banyak menuai protes, bahkan dengan gelombang besar.

Selain soal undang-undang, Kabinet Indonesia Maju, kata Qodari, juga mesti lebih hati-hati dengan tidak membuat blunder, dengan tindakan kontoversial yang menuai reaksi publik. Selama tidak ada tindakan blunder, situasi stabil politik pada 2020 bahkan bisa berlanjut sampai akhir kepemimpinan Jokowi.

Pasalnya, kata dia, Jokowi sudah didukung oleh 85 persen kekuatan politik, apalagi kompetitor ketika pilpres, Prabowo Subianto dengan Gerindra ikut bergabung.

Bahkan kekuatan politik yang ada di luar seperti Demokrat sudah memberi isyarat memberikan dukungan. Dalam pidato akhir tahun, Ketum Demokrat SBY lebih banyak memberikan semacam dukungan kepada pemerintah. 

 

 

Sumber: rmco.id

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index