SPP-Ku Rp 170 Juta, di Sekolahmu Berapa?

SPP-Ku Rp 170 Juta, di Sekolahmu Berapa?
ilustrasi

RIAUAKTUAL.COM - Salah satu sekolah menengah papan atas di Jakarta menetapkan “infaq” hingga Rp170 juta setahun, atau Rp 14 jutaan sebulan. Bagi sebagian orang, biaya tersebut dinilai tak masuk akal. Namun, dengan jualan paduan pendidikan antara kebijaksanaan Timur dan kekayaan metodologi Barat, wali murid ternyata harus antre supaya anaknya mendapatkan bangku.

Sekolah ini tentu tak sendirian mematok harga sebesar itu, menjadi saksi betapa penuhnya isi tas kaum elit ibu kota dengan fulus. Kata orang Jawa “Rego Gowo Rupo”, yang kira-kira sepadan dengan ‘harga bicara kualitas.’

Harus diakui, jika tidak ada kualitas dari lulusannya, sekolah jenis ini pasti akan runtuh dengan sendirinya. Bisa dipahami pula bahwa orang-orang yang merasa sadar dengan pendidikan tak segan melempar gepokan uang demi pendidikan anaknya.

Fenomena larisnya sekolah mahal di Jakarta mungkin tak melulu soal gengsi, tapi kepercayaan yang rendah terhadap sistem pendidikan lokal. Betapa tidak gawat, pendidikan Indonesia hanya mampu menempatkan literasi warga Indonesia berada di urutan ke-60 di antara total 61 negara, dalam sebuah survei pada Maret 2016 oleh Central Connecticut State University.

Negara kita, yang membanggakan diri sebagai Zamrud Khatulistiwa ini, hanya lebih baik dari Botswana, negara miskin di Afrika yang penduduknya harus ke luar negeri untuk dapat melihat ombak. Mau maju tapi tidak doyan baca, masa iya bisa berhasil?

Perlu diketahui pula bahwa sekolah yang dicap “bagus” selalu diisi oleh guru-guru impor dengan panduan kurikulum internasional. Guru Indonesia dipastikan sulit bersaing. Pertama karena keterbatasan bahasa, dan terutama ijazah fakultas keguruan dari universitas di Indonesia dirasa tidak cukup sakti untuk dijadikan syarat utama.

Apalagi kurikulum Indonesia, yakin produk satu sulit dipakai oleh sekolah-sekolah yang telanjur mahal tersebut. Mereka, sepertinya, punya bocoran jika kurikulum dalam negeri lebih sering didisain karena kebutuhan proyek, bukan hasil dari kompilasi ide-ide cerdas para pakar dan praktisi yang benar-benar berniat mendidik.

Mengetahui kenyataan ini, sebagai guru, membuat posisi menjadi cukup sulit. Jika mengakui sekolah-sekolah model ini bagus, nanti ada pihak yang menuduh diri ini terlalu silap dengan asing. Apabila menyebut sekolah tersebut cuma menang mahal, argumentasi dan datanya sepertinya sulit dicari.

Lagi, fenomena ini membuat diri berhalusinasi: bisa tidak, kita kompak dan bekerjasama mencontoh kualitasnya, dan besaran SPP-nya kita pangkas saja jadi Rp 1,7juta setahun?

Ah, tapi, jadi ingat waktu sekolah di tempat murah jaman dulu. Salah seorang guru bilang, “SPP sak repes (satu rupiah/untuk mengatakan sesuatu yang tak ada nilainya, Jawa) kok nuntut macem-macem!”

Jadi, siapa sebenarnya yang mulai mengatakan kalau pendidikan bagus itu harus mahal?. (rimanews)

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index