Riauaktual.com - Aisyah diduga sudah meninggal dunia sejak empat bulan lalu. Selama itu, jenazah bocah perempuan tersebut disimpan di kamar di rumah orangtuanya.
Tapi selama itu pula, para tetangga tak mencium bau busuk jenazah bocah berusia 7 tahun tersebut.
Kasus ini bahkan baru terbongkar pada Minggu (16/5) pukul 23.30 WIB.
Kasat Reskrim Polres Temanggung, AKP Setyo Hermawan menyatakan, ada beberapa sebab yang membuat jenazah Aisyah tidak sampai mengeluarkan bau busuk.
Salah satunya adalah jarak rumah tetangga dengan TKP yang lumayan jauh.
“Sehingga aroma busuk dari mayat tidak sampai tercium oleh tetangga,” ungkap Setyo, Rabu (19/5).
Selain itu, selama empat bulan tersebut, kedua orangtua korban juga rutin melakukan perawatan pada jenazah Aisyah.
“Ditambah dengan pengharum ruangan dan kapur barus yang diletakkan pada jenazah korban,” jelasnya.
Selain itu, jenazah korban juga selalu dibersihkan hingga akhirnya mengalami proses mumifikasi.
Di sisi lain, Haryono dan Budiono selaku dukun begitu dipercaya oleh Marsidi dan Suwartinah.
Sebab, sang dukun meyakinkan bahwa Aisyah tidak meninggal dunia, melainkan hanya tidak sadar.
Marsidi dan Suwartinah diyakinkan bahwa anaknya suatu ketika akan bangun dengan sendiri.
Setelah bangun, Aisyah akan memiliki kepribadian yang jauh lebih baik.
Akan tetapi, sampai dengan empat bulan lamanya, tidak ada tanda-tanda bahwa Aisyah akan hidup kembali.
“Orang tua korban sangat percaya dengan dukun tersebut. Selama jasad dari anaknya dirawat dengan baik maka akan kembali hidup dengan kepribadian yang sudah membaik,” terangnya.
Ruwatan Sejak Desember 2020
Setyo menyebut, Aisyah meninggal dunia karena menjadi korban praktik perdukunan yang dilakukan Haryono.
Namun, hal itu dilakukan Haryono atas permintaan dari kedua orangtua korban.
Sebab, Marsidi dan Suwartinah menilai Aisyah adalah anak yang nakal.
Berdasarkan ‘penerawangan’ yang dilakukan Haryono, Aisyah ternyata adalah anak jelmaan genderuwo.
Untuk bisa ‘menyembuhkannya’ maka harus dilakukan ruwatan terhadap Aisyah.
Hal itu kemudian disetujui oleh kedua orangtua korban.
Salah satu ruwatan yang harus dilakukan adalah memasukkan kepala korban ke dalam bak air di kamar mandi.
Ruwatan menyimpang itu bahkan sudah dilakukan sejak Desember 2020 lalu.
Namun, ruwatan dimaksud belum berhasil alias belum menunjukkan hasil.
Akhirnya, ruwatan menenggelamkan kepala korban di bak mandi kembali dilakukan pada Januari 2021.
“Saat itu kepala korban dimasukkan ke dalam bak mandi berisi air oleh para pelaku hingga tak sadarkan diri dan meninggal dunia,” bebernya.
Atas perbuatannya, Marsidi dan Suwartinah dijerat Pasal 76 C Jo Pasal 80 ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, subsider Pasal 44 ayat 3 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT subsider pasal 351 ayat 3 KUHP.
Sedengkan Budiono dikenakan Pasal 76 C Jo Pasal 80 ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, subsider pasal 351 ayat 3 KUHP.
Sementara Haryono, dijerat Pasal 55 KUHP Jo Pasal 76 C Jo Pasal 80 ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, subsider pasal 351 ayat 3 KUHP.
“Dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp3 miliar,” tandasnya.