Pengacara Amril Mukminin Sampaikan Duplik ke Hakim, Begini Isinya..

Kamis, 22 Oktober 2020

Riauaktual.com - Sidang dugaan tindak pidana korupsi dengan terdakwa Bupati Bengkalis nonaktif, Amril Mukminin masih terus berjalan. Setelah pada 19 Oktober 2020 kemarin Jaksa Penuntut Umum KPK telah menyampaikan Replik, hari ini Kamis (22/10) Penasehat Hukum Amrik Mukminin membacakan Duplik di Pengadilan Negeri Pekanbaru secara virtual.

"Kita telah lakukan pembacaan duplik. Ini merupakan satu kesatuan dari nota pembelaan kami yang telah kita bacakan pada 15 Oktober 2020 lalu. Pada pokoknya kami tetap pada seluruh dalil- dalil serta uraian kami pada nota pembelaan, namun terhadap hal- hal yang diuraikan oleh Penuntut Umum di dalam repliknya ada hal- hal yang perlu untuk kami tanggapi secara tegas di dalam Duplik ini," ujar Asep Ruhiat, Kuasa Hukum Amril Mukminin.

Dalam duplik tersebut, enasehat hukum terdakwa memberikan tanggapan terhadap materi replik yang sebelumnya disampaikan oleh Penuntut umum. Di antaranya yakni :

Dalam repliknya, Penuntut Umum berpendapat bahwa konstruksi fakta yang PH uraikan di dalam nota pembelaan PH tidak berdasar, dan hanya mengutip sebagian bukti saja. PH menanggapi bahwa keterangan saksi- saksi, keterangan ahli, keterangan Terdakwa serta bukti- bukti yang PH tercatat di dalam berita acara persidangan.

Oleh karenanya pendapat Penuntut Umum yang mengatakan bahwa dalil- dalil yang PH uraikan tidak didasarkan pada bukti- bukti dan hanya mengutip sebagian bukti adalah tidak benar. Oleh karenanya tanggapan Penuntut Umum tersebut haruslah dikesampingkan.

Kemudian dalam poin ke-2, Bahwa di dalam repliknya Penuntut Umum mempermasalahkan unsur “Penyelenggara Negara” dan “menerima hadiah”, lantas menuduh bahwa PH tidak memahami cara menguraikan unsur, sehingga PH salah memahami dan mencampuradukkan antara unsur “Penyelenggara Negara” dan unsur “menerima hadiah”. 

Menurut pendapat PH unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara” terikat dan tidak boleh lari dari yang ditegaskan undang- undang, yaitu didasarkan pada pengertian Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Kepegawaian yang secara tegas mengatur tentang apa yang dimaksud dengan “Pegawai Negeri”, menurut PH mungkin Penuntut Umum lupa terhadap Pasal tersebut sehingga tidak mencantumkan Pasal 1 UU No. 8 tahun 1974 di dalam surat tuntutannya.

Asep menjelaskan bahwa telah terbukti dan dibenarkan oleh Penuntut Umum, terdakwa dilantik menjadi Bupati Bengkalis pada tanggal 17 Februari 2016, dimana sebelumnya Terdakwa telah mengundurkan diri sebagai anggota DPRD pada 22 Juli 2015. Oleh karenanya jika merujuk pada pengertian Pegawai Negeri dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1974 dan Pasal 1 angka 2 UU No. 31 tahun 1999 yang secara rigid dan tidak boleh dimaknai di luar itu, maka status “pegawai negeri” maupun “penyelenggara negara” terhitung 22 Juli 2015 s.d tanggal 16 Februari 2016, tidak lagi melekat pada diri Terdakwa.

Ia juga mengatakan bahwa Penuntut Umum sendiri secara tegas menguraikan di dalam surat dakwaannya dan surat tuntutannya bahwa dakwaan Terdakwa berbentuk Voorgezette handeling. Yakni  tindak pidana yang dilakukan secara berlanjut.

Sehingga sudah sepatutnya kapasitas Terdakwa sebagai tertuduh pelaku tindak pidana -quod non- haruslah sama sejak permulaan dilakukannya tindak pidana sampai kepada tindak pidana yang dilakukan terakhir.

Kemudian, PH menilai Penuntut Umum tanpa dasar mempermasalahkan mengenai penetapan Terdakwa oleh KPU sebagai Bupati Bengkalis Terpilih pada tanggal 15 Desember 2015.  Bahwa berdasarkan Peraturan Perundang- undangan, yang mengangkat seseorang menjadi Bupati  bukanlah KPU, melainkan Presiden, Menteri, Gubernur incasu Bupati diangkat oleh Gubernur (ex: Pasal 4 ayat (1) Perpres No 16 tahun 2016). 

Sementara Penuntut Umum sendiri tidak mencantumkan peraturan perundang- undangan manakah yang menjadi dasar pernyataannya yang mengatakan bahwa pasangan calon yang telah ditetapkan sebagai bupati terpilih oleh KPU sudah merupakan pegawai negeri atau penyelenggara negara;

"Jika kapasaitas terdakwa tidak sama di dalam perbuatan satu dan perbuatan selanjutnya, maka sudah tentu dakwaan tidak dibuat dalam bentuk vorgezette handeling, melainkan dakwaan dilakukan secara terpisah antara pebuatan satu dengan lainnya," ujarnya dalam dupliknya.

"Berdasarkan uraian itu maka kami menilai telah jelas dan terang bahwa Terdakwa tidak memenuhi unsur sebagai “Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara”. Untuk itu beralasan jika Majelis Hakim Yang Mulia membenarkan pendapat kami ini, sehingga mengesampingkan uraian- uraian Penuntut Umum dalam Surat Tuntutannya mengenai Dakwaan Kesatu Primair," imbuhnya.

PH juga keberatan kepada dalil- dalil PU yang tanpa dasar mengatakan bahwa Azrul Nor Manurung adalah perpanjangan tangan Terdakwa. Secara tegas PH meminta agar PU membuktikan secara hukum dan berdasarkan peraturan perundang- undangan bahwa ajudan Bupati secara kapasitas, secara struktural maupun kepangkatan adalah merupakan perpanjangan tangan dari Bupati.

"Bahwa oleh permintaan kami tersebut, PU di dalam Repliknya-pun tidak membuktikan tuduhannya bahwa Azrul Nor Manurung dalam kapasitasnya sebagai ajudan Bupati merupakan perpanjangan tangan dari Terdakwa, PU hanya mengelak tanpa menguraikan dasar peraturan perundang- undangan yang menjadi acuan dalil- dalilnya. Oleh karenanya beralasan jika uraian- uraian PU di dalam surat tuntutannya mengenai Dakwaan Kesatu Primair dikesampingkan," tuturnya.

Selanjutnya, terkait unsur “Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”, dalam nota pembeliannya telah nyata dan jelas didasarkan pada fakta persidangan, sedangkan KUHAP pada Pasal 185 ayat (1) dengan jelas mengatur, bahwa: 

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan".

Kala itu, Ichsan Suaidi bersaksi bahwa pada pertemuan pertama tepatnya di kopi tiam, saksi bertemu terdakwa hanya bertujuan untuk silaturahmi, menyampaikan isi putusan Mahkamah Agung yang telah memenangkan PT. CGA. 

Kemudian uang yang diberikan bukan merupakan uang pelicin karena saksi merupakan pemenang dari pekerjaan pembangunan jalan Duri - Sei.Pakning.

Keterangan Ichsan Suaidi tersebut telah terang dan jelas serta diucapkannya di bawah sumpah, dan perlu di ingat bahwa pertemuan Terdakwa dengan Ichsan Suaidi tersebut seluruhnya ketika Terdakwa bukan berstatus Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara. Dengan demikian unsur itu tidak terbukti secara nyata.

Lalu terkait komitmen fee antara terdakwa dengan PT. CGA, Ichsan Suaidi dan Triyanto, didasarkan pada fakta- fakta yang terungkap di persidangan, yaitu berdasarkan keterangan Ichsan Suaidi, keterangan Triyanto dan keterangan terdakwa sendiri, sehingga tidak ada alasan secara hukum untuk menolak uraian- uraian PU tersebut.

Bahwa tidak pernah dibuktikan Rekan Penuntut Umum dan juga memang tidak terbukti di Persidangan a quo berapa jumlah commitment fee antara Terdakwa dengan Pt. CGA, siapakah yang menawarkan commitment fee tersebut pertama sekali, dalam berapa tahapkah disepakati commitment fee dilakukan, Bahkan sampai pada repliknya-pun PU tidak dengan tegas mencantumkan jumlah commitment fee antara Terdakwa dengan PT. CGA.

Ia menilai PU  seolah- olah menutupi kebenaran dengan menyatakan bahwa Terdakwa tidak keberatan dengan keterangan saksi Triyanto terkait “adat- istiadat” dalam proyek, padahal secara nyata di muka persidangan Terdakwa secara jelas telah mengajukan keberatannya terhadap keterangan saksi Triyanto tersebut.

"Kami berpendapat, seluruh uraian Penuntut Umum mengenai commitment fee, hanyalah delusi semata, sehingga sangat pantas jika uraian beserta alasan Penuntut Umum mengenai hal ini pada dakwaan kesatu primair dikesampingkan," katanya.

Selanjutnya, menanggapai pemberian dari jamal abdillah dan unsur “setiap gratifikasi” serta keberatan terhadap keterangan- keterangan Ahli di dalam Persidangan, PH mangatakan bahwa mengenai pemberian dari Jamal Abdillah adalah didasarkan pada ketentuan Pasal 182 ayat 4 KUHAP, yang pada dasarnya segala sesuatu yang terbukti di dalam persidangan harus didasarkan pada surat dakwaan, sehingga jika tidak dimuat dalam surat dakwaan, maka sangat beralasan untuk dikesampingkan.

Ia berpendapat bahwa permohonan PU intik Majelis Hakim mengesampingkan pendapat- pendapat ahli adalah bertentangan dengan hukum acara pidana, bahwa Pasal 65 KUHAP Jo. Pasal 184 huruf b) KUHAP telah memberikan hak bagi Terdakwa untuk menghadirkan ahli, lagipula Pasal 184 huruf (b) KUHAP telah mengatur bahwa Keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah.

"Memohon kepada Majelis Hakim untuk mengesampingkan keterangan- keterangan ahli, menurut kami Jaksa Penuntut Umum telah khilaf seolah- olah berkeinginan untuk mengesampingkan hak- hak Terdakwa seraya menolak salah satu alat bukti yang sah. Oleh karenanya kami memohon kepada Majelis Hakim yang Mulia agar menganulir permohonan dari Penuntut Umum yang bertentangan dengan KUHAP tersebut.

PH juga menilai keberatan PU terkait  para ahli di dalam perkara ini yakni Erdiansayah, SH, MH, dan Dr. Zulkarnain S, SH, MH saat memberikan keterangan mengenai isi Pasal 1320 KUHPerdata tidak berdasar. Hanya karena kedua orang ahli tersebut adalah Dosen Hukum Pidana dan hukum Acara Pidana.

"Sorang sarjana hukum adalah seorang yang dianggap tamat dalam mempelajari ilmu hukum, sedangkan Ilmu Hukum juga mencakup Hukum Perdata dan Hukum Pidana, sehingga tiada keraguan jika seorang Dosen Ilmu Hukum maupun Dosen Hukum Pidana dan Hukum Perdata sudah sepatutnya memahami Ilmu hukum dasar. Untuk itu keberatan PU haruslah dikesampingkan," paparnya.

Sementara, terkait penertiban pabrik sawit adalah tugas kepolisian, PH justru menilai bukanlah tugas kepolisan  untuk menertibkan antrian truk- truk pengangkut buah sawit (TBS) yang hendak masuk Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PKS), bukan pula tugas kepolisian. Sementara dalam persoalan pabrik sawit tersebut tidak terjadi peristiwa pidana.

"Jadi, menurut hemat kami tidak perlulah pihak kepolisian turun tangan dalam permasalahan pabrik sawit tersebut, oleh karena itu uraian Penuntut Umum tersebut beralasan untuk dikesampingkan," bebernya.

Lalu, terkait Terdakwa sebagai anggota DPRD juga untuk menampung aspirasi masyarakat sehingga tidak dibenarkan untuk menerima Rp 5 per Kg dari Pabrik sawit, PH menjawab berdasarkan keterangan saksi Adyanto dan Jonny Tjoa  bahwa ada permasalahan nyata yang dialami pabrik mereka, sehingga diperlukan penanganan secara nyata pula, tidak dapat hanya dengan sekedar menampung aspirasi saja.

Menurutnya, jika dengan sekedar menampung aspirasi saja permasalahan pabrik sawit dapat teratasi, tentunya Adyanto dan jonny Tjoa pasti lebih memilih untuk menyurati Ketua DPRD Bengkalis perihal aspirasi dan uneg- uneg sebagai pengusaha pabrik sawit. 

Namun, insting pengusaha dari para saksi tersebut mengarahkan untuk tidak melakukannya, melainkan menghubungi Terdakwa yang dapat langsung terjun ke lapangan, oleh karenanya alasan- alasan Penuntut Umum Tersebut pantas untuk dikesampingakan.

Lagi, masalah uraian Penasehat Hukum mengenai Unsur “kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara”, “sebagai Anggota DPRD adalah tugas Terdakwa untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga- lembaga usaha di daerah”, PH berpendapat bahwa tugas anggota DPRD adalah pembentukan peraturan daerah atau Legislasi, terkuat anggaran atau Budgeting, dan melakukan pengawasan atau Controlling. Sehingga segala hal yang dilakukan oleh Terdakwa berdasarkan Perjanjian 

Kerjasama dengan PT. SAS dan PT. MASS sama sekali tidak memiliki konflik kepentingan dan tidak melanggar kewajibannya sebagai anggota DPRD. Untuk itu alasan- alasan Penuntut Umum yang mempermasalahkan penerimaan uang yang secara rutin oleh Terdakwa dari PT. MASS dan PT. SAS berdasarkan Perjanjian Kerjasama tersebut tidak beralasan secara hukum.

Mengenai unsur “dianggap memberi suap” dan Laporan Terdakwa kepada LHKPN dan mengenai Nomor Rekening Terdakwa, dan penerimaan uang senilai Rp5 bertentangan dengan kewajiban Terdakwa. PH menilai bahwa PU tidak menjelaskan kewajiban Terdakwa yang mana yang telah dilanggarnya. 

Bahkan Penuntut Umum tidak pula mampu menguraikan seperti apa bentuk dari konflik kepentingan yang dilakukan Terdakwa dan apa hubungan antara penerimaan uang itu dengan Jabatan Terdakwa. Sementara, telah diterangkan Terdakwa  bahwa penerimaan Rp. 5, per Kg tersebut adalah berdasarkan perjanjian kerjasama yang dibuat di hadapan Notaris dan sama sekali tidak bertentangan dengan hukum.

Lalu, PU juga tidak membantah uraian PH tentang Surat KPK nomor: B.1341/01-13/03/2017 tanggal 15 Maret 2017 hal: pedoman dan batasan gratifikasi (Vide: Bukti: T-9) yang selaras dengan peraturan KPK nomor 2 tahun 2019 tentang pelaporan gratifikasi yang merubah oeraturan KPK nomor 6 tahun 2015 yang merubah peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2014, sebagaimana diatur pada pasal 2 ayat (3) huruf ( i ).

"Jadi menurut kami Rekan Penuntut Umum telah setuju dan sependapat dengan kami, bahwa berdasarkan ketentuan ini seluruh penerimaan- penerimaan dari PT. MASS ,Jonny Tjoa dan PT. SAS ,Adyanto bukanlah gratifikasi yang wajib dilaporkan," terangnya.

Terkait aset, PH berpendapat bahwa seluruh asset, termasuk tetapi tidak terbatas pada nomor rekening Terdakwa yang telah diblokir, yang tidak dapat dibuktikan sebagai hasil tindak pidana dan telah dibuktikan  merupakan hasil usaha dan hasil dari keringat Terdakwa sendiri. Maka PH menilai sangat tidak beralasan untuk dirampas dan diblokir sebab hal itu telah mencederai hak- hak terdakwa dan melanggar rasa keadilan.

"Lagipula uang- uang hasil pemberian dari PT. CGA telah seluruhnya diserahkan kepada KPK, sehingga tidak ada alasan bagi KPK untuk melakukan perampasan harta selainnya sebagai upaya recovery, oleh karenanya segala perampasan asset yang didalilkan Penuntut Umum selayaknya untuk ditolak," tambahnya.

Dijelaskannya uang yang disita dalam penggeledahan pada 1 Juni 2018 lalu total ada Rp 1.935.450.000. menurut PH itu adalah uang dari hasil jerih payah dan keringat Terdakwa sendiri. Dimana uang tersebut rencananya akan digunakan untuk keperluan usaha demi memenuhi kebutuhan hidup Terdakwa bersama isteri dan anak- anaknya ke depan.

"Kita memohon kepada Majelis Hakim Yang Mulia agar berkenan untuk memutus bahwa uang tersebut dikembalikan kepada Terdakwa," pintanya.

"Oleh karena Terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan- perbuatan sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum, baik Dakwaan Kesatu Primair, Dakwaan Kesatu Subsidair dan Dakwaan Kedua, maka tidak sepantasnya kepada Terdakwa dijatuhi hukuman tambahan sebagaimana diuraikan oleh Penuntut Umum di dalam Repliknya angka 3, hal. 13 sangat tidak beralasan, apalagi baru diajukan pada Replik, bukan pada Surat Tuntutan. Sebab pada dasarnya Replik bukanlah surat untuk menuntut, melainkan sekedar surat tanggapan terhadap Nota Pembelaan.

Oleh karenanya beralasan jika permohonan terhadap hukuman tambahan tersebut ditolak karena tidak diajukan pada surat tuntutan, sehingga dapat dimaknai bahwa memang awalnya Penuntut Umum tidak ingin menuntut hal tersebut karena telah melihat dan merasakan fakta persidangan," terangnya.

Dalam penutupnya, OH berkesimpulan bahwa Terdakwa  Amril Mukminin tidak terbukti melanggar Dakwaan Kesatu Primair, Dakwaan Kesatu Subsider dan Dakwaan Kedua. 

PH juga memohon agar Majelis Hakim memutus dengan amar

1. Menyatakan Terdakwa amril mukminin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan pada Dakwaan Kesatu Primair atau Dakwaan Kesatu Subsidair, dan Dakwaan Kedua;

2. Membebaskan terdakwa Amril Mukminin dari semua tuntutan hukum (Vrijspraak) atau setidak-tidaknya menyatakan Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslaag Van Alle Rechtsvervolging);

3. Memerintahkan agar Terdakwa dibebaskan dari tahanan Rumah Tahanan (RUTAN) Kelas I Pekanbaru seketika setelah putusan dibacakan.

4. Memulihkan Hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

5. Menetapkan barang bukti yang disita saat penggeledahan tanggal 01 Juni 2018 dengan total Rp 1.935.450.000 dikembalikan kepada Amril Mukminin.

6. Menetapkan barang bukti yang disita lainnya dikembalikan kepada yang tersita atau berhak.

7. Memerintahkan KPK untuk mencabut blokir terhadap nomor Rekening:

- Bank Riau nomor 108.21.26284 a.n Amril Mukminin;

- Bank CIMB Niaga 703017971300 a.n Amril Mukminin.

8. Membebankan biaya perkara kepada Negara. (San)