Berikut Penjelasan Pakar Intelijen Mengenai Akurasi Tes dan Keikutsertaan BIN Tangani Covid-19

Senin, 28 September 2020

Pengamat intelijen Susaningtyas Kertopati (istimewa)

Riauaktual.com - Pengamat intelijen Susaningtyas Kertopati memberikan penjelasan mengenai keikutsertaan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam penanganan pandemi Covid-19. Nuning, sapaan akrab Susaningtyas, memaparkan secara gamblang mulai dari masalah akurasi hasil tes, pelaporan, hingga kewenangan BIN dalam penanganan Covid-19.
 
Pertama, terkait masalah akurasi hasil tes. Nuning menjelaskan, dalam melakukan proses uji spesimen, laboratorium BIN menggunakan 2 jenis mesin Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), yaitu jenis Qiagen dari Jerman dan jenis Thermo Scientific dari Amerika Serikat. Mesin-mesin itu memiliki sertifikat Lab BSL-2 yang telah didesain mengikuti standar protokol laboratorium, telah dilakukan proses sertifikasi oleh lembaga sertifikasi internasional, World Bio Haztec (Singapura) serta melakukan kerja sama dengan LBM Eijkman untuk standar hasil tes. “Sehingga layak digunakan untuk RT-PCR yang sesuai standar,” jelas Nuning, Senin (28/9) sebagaimana dikutip dari Rmco.id.
 
Menurut mantan anggota Komisi I DPR ini, BIN menerapkan ambang batas standar hasil PCR test yang lebih tinggi dibandingkan institusi/lembaga lain. Hal ini tercermin dari nilai CT QPCR (ambang batas bawah 35, namun untuk mencegah orang tanpa gejala/OTG lolos screening BIN menaikkan menjadi 40) termasuk melakukan uji validitas melalui triangulasi 3 jenis gen yaitu RNP/IC, N dan ORF1ab.
 
Nuning menambahkan, Dewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN, termasuk jaringan intelijen di WHO menjelaskan fenomena hasil tes swab positif menjadi negatif bukan hal yang baru. Fenomena ini disebabkan tiga hal. 
 
Pertama, RNA/protein yang tersisa (jasad renik virus) sudah sangat sedikit bahkan mendekati hilang pada threshold sehingga tidak terdeteksi lagi. “Apalagi subjek tanpa gejala klinis dan dites pada hari yang berbeda. OTG/asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut,” jelasnya.
 
Kedua, terjadi bias pra-analitik yaitu pengambilan sampel dilakukan oleh 2 orang berbeda, dengan kualitas pelatihan berbeda dan SOP berbeda pada laboratorium yang berbeda. Sehingga sampel Swab sel yang berisi Covid tidak terambil atau terkontaminasi.
 
Ketiga, sensitivitas reagen dapat berbeda terutama untuk pasien yang nilai CQ/CT-nya sudah mendekati 40. Dalam kaitan ini, BIN menggunakan reagen perkin elmer (USA), A-Star Fortitude (Singapura), Wuhan Easy Diag (China). Reagen ini lebih tinggi standar dan sensitivitasnya terhadap Strain Covid-19 dibandingkan merk lain seperti Genolution (Korea) dan Liferiver (China) yang digunakan beberapa rumah sakit.
 
“Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi perbedaan uji Swab antara lain adalah kondisi peralatan, waktu pengujian, kondisi pasien, dan kualitas test kit. BIN menjamin kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan adalah gold standard dalam pengujian sampel Covid-19. Kasus false positive dan false negative sendiri telah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, China, dan Swedia,” jelas peraih gelar doktor bidang intelijen ini.

Kedua, untuk masalah pelaporan. Nuning menjelaskan, dalam menggelar kegiatan tes massal di berbagai titik, BIN berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat, termasuk di dalamnya Dinas Kesehatan serta Gugus Tugas Daerah untuk membantu menentukan titik-titik lokasi yang menjadi klaster penyebaran Covid-19. “Sejak Satgas Intelijen Medis beroperasi pada April 2020, BIN selalu melaporkan hasil tes Swab yang selama ini dilakukan kepada Kemenkes dan Gugus Tugas Penanganan Covid-19,” terang Nuning.
 
Ketiga, terkait keterlibatan BIN dalam penanganan Covid-19. Nuning menjelaskan, BIN diberikan kewenangan oleh UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara untuk membentuk Satgas dalam pelaksanaan aktivitas intelijen (Pasal 30 huruf d). Ancaman kesehatan juga merupakan bagian dari ancaman terhadap keamanan manusia yang merupakan ranah kerja BIN. Dengan dasar tersebut, BIN turut berpartisipasi secara aktif membantu Satgas Penanganan Covid-19 dengan melakukan operasi Medical Intelligence (Intelijen Medis), di antaranya berupa gelaran tes Swab di berbagai wilayah, dekontaminasi, dan kerja sama dalam pengembangan obat dan vaksin. Hal semisal ini juga dilakukan di negara-negara lain seperti Amerika Serikat yang memiliki National Center for Medical Intelligence (NCMI) yang melakukan surveillance penyakit menular di dunia, atau NATO di Eropa yang melibatkan aktivitas intelijen dalam pengkajian infrastruktur kesehatan.
 
“Kehadiran Satgas BIN telah mendapat apresiasi positif dari kementerian/lembaga dan Pemda yang menyampaikan permohonan kepada BIN untuk membantu pelaksanaan tracing di wilayah/institusinya dengan melakukan tes Swab dengan beban anggaran operasi BIN,” jelas Nuning.
 
Upaya-upaya yang dilakukan BIN, sambung Nuning, semata-mata untuk membantu pemerintah dalam percepatan penanganan pandemi Covid-19. Di antaranya melalui 3T (testing, tracing, dan treatment) serta memperbanyak kapasitas testing di Indonesia yang saat ini masih di bawah rata-rata tes harian yang ditetapkan WHO (1.000 tes per 1 juta penduduk). 
 
“Oleh karenanya, BIN bekerja sama dengan berbagai lembaga penelitian dan universitas yang memiliki fasilitas laboratorium BSL 2 dan 3 di berbagai daerah, utamanya yang masuk dalam zona merah Covid-19, untuk meningkatkan kapasitas uji spesimen dengan memberikan berbagai bantuan alat laboratorium, mulai dari RT-PCR hingga berbagai peralatan lainnya, seperti reagen dan sebagainya. Selain itu, BIN juga membangun satu lab stasioner berstandar BSL-2+ dan empat unit lab mobile berstandar BSL-2 untuk membantu mempercepat dan memperbanyak kapasitas testing, yang mampu menjangkau zona-zona merah yang sebelumnya tidak dapat dijangkau,” jelasnya.
 
Nuning menambahkan, Upaya 3T dimaksudkan untuk mencegah OTG/asimptomatik agar tidak menjadi spreader merupakan perhatian semua pihak dan mengobati pasien Covid-19 kondisi ringan dan sedang yang dideteksi sejak dini dari tes Swab berpeluang sembuh lebih besar serta lebih murah. “Jangan sampai stigmatisasi masyarakat yang kuat melekat menjadi bagian dari polemik hasil test positif-negatif. Sebagai lini terdepan dalam keamanan nasional sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, maka BIN berkewajiban membantu pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19 di Indonesia,” tutupnya.