Dokter Kurang, Perawat Kelelahan 'Kalau Begini Terus, Kita Bisa Ambruk'

Selasa, 22 September 2020

Para dokter yang berjuang menyembuhkan pasien Covid-19. (Foto: Istimewa)

Riauaktual.com - Di antara pertimbangan Anies Baswedan menginjak rem darurat, adalah karena khawatir RS rujukan tak kuat menampung pasien. Dokter yang akan mengobati dan para tenaga kesehatan seperti perawat, kelelahan karena melonjaknya pasien Corona. Nah, kekhawatiran Gubernur DKI Jakarta itu, ternyata mulai kejadian juga...

"Di semua lokasi, dokter memang kurang, dan perawat juga sudah mulai kecapekan. Seminggu terakhir ini, sangat sibuk," ujar Kepala Bidang Koordinator Relawan Medis Satgas Covid-19, Jossep F William, dalam diskusi virtual, Senin (21/9).

Kondisi ini tak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di semua daerah. Termasuk, di RS Darurat Pulau Galang. 

Jossep mengungkapkan, seorang dokter idealnya menangani 50 pasien. Seorang perawat merawat 10 pasien. Namun, saat ini, rasionya lebih dari itu. Jossep bilang "stok" dokter yang tersedia sudah sangat menipis.

"Sekarang, sebagian besar dari relawan mendukung RS darurat, ada beberapa yang ditempatkan di RS rujukan, tapi tidak terlalu banyak," tuturnya, sebagaimana dikutip dari RMco.id. 

Satgas Penanganan Covid-19 pun akan bekerja sama dengan organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan lainnya untuk menyiapkan tenaga yang dibutuhkan di RS darurat. 

Mereka juga mempertimbangkan untuk merekrut dokter internship, dengan tetap didampingi dokter yang sudah berpengalaman. 

Jossep mengingatkan, jika lonjakan pasien terus terjadi, sistem kesehatan Indonesia bisa ambruk. Dia pun meminta masyarakat mematuhi protokol kesehatan pencegahan penularan Corona. 

"Kalau begini terus, kita akan ambruk karena kewalahan sekali. Sekarang, kita masih tahan. Tapi, kita tidak tahu bisa bertahan sampai kapan," tandasnya. 

IDI mencatat, hingga kemarin, ada 117 dokter yang meninggal dunia usai menangani kasus Covid-19. Sebagian bahkan meninggal saat masih berstatus suspek (PDP). "Semuanya dirawat dan dimakamkan (sesuai standar) Covid-19," ujar Humas PB IDI Halik Malik, Senin (21/9).

Halik merinci, 117 dokter ini terdiri dari 53 orang dokter spesialis, dua dokter residen, dan 62 dokter umum. 

Ketua Tim Mitigasi PB IDI, dr Adib Khumaidi, menyebut, jumlah dokter yang meninggal akibat Corona di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia.

Padahal, rasio jumlah dokter di Indonesia terendah kedua di Asia Tenggara. Hanya 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Rasio dokter spesialis lebih rendah lagi. Cuma 0,13 per 1.000 penduduk. 

Dia menyebutkan, semakin banyak dokter yang meninggal, semakin besar beban layanan kesehatan. Sebagai gambaran, satu dokter mampu melayani 2.500 pasien. Jika kehilangan 117, lebih dari 300 ribu warga Indonesia akan kehilangan pelayanan dari dokter.

"Kasus kematian tenaga medis, termasuk dokter, yang terus bertambah membuat kami khawatir. Sebab beban layanan kesehatan akan bertambah," ujar Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih, Senin (21/9).

IDI pun meminta perlindungan untuk para dokter diperkuat. Mulai dari alat pelindung diri (APD) yang tetap dikontrol dan harus terus tersedia, hingga melakukan pembatasan jam kerja bagi para dokter. Mereka tidak boleh dibiarkan bekerja lebih dari enam jam.  

Selain menyebabkan kelelahan, panjangnya jam kerja itu bisa membuat para dokter tertular Covid-19 karena terlalu lama berinteraksi dengan pasien. Selain itu, IDI meminta dilakukannya pemeriksaan rutin Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk dokter. "Perlindungan tenaga kesehatan harus lebih diperkuat, supaya keselamatan tenaga medis terjaga dan tidak semakin banyak nyawa berjatuhan," tegasnya. 

Kekurangan dokter inilah yang sebelumnya dikhawatirkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Hingga akhirnya, ia memberlakukan kembali PSBB. "Satu dokter meninggal artinya ratusan ribu warga kehilangan tenaga kesehatan. Jangan sampai kita kehilangan garda terakhir kita melawan Covid-19," kata Anies, Rabu (9/9).