Curahan Hati Seorang Dokter di Pekanbaru, Tangani Corona Dikucilkan Warga

Selasa, 02 Juni 2020

dokter Sri Melati Munir

Riauaktual.com - Menjadi tenaga medis untuk menangani pasien Covid-19 bukanlah pekerjaan yang mudah. Selain dibayang-bayangi penularan, hal yang paling memberatkan adalah prilaku warga terhadap keluarga.

Inilah curahan hati salah seorang dokter di Pekanbaru, Riau, Sri Melati Munir. Wanita berusia 46 tahun ini setiap harinya harus menangani pasien Covid-19 di dua rumah sakit yakni RSUD Arifin Achmad dan RS Awal Bros. Sebagai manusia biasa, rasa was-was tertular penyakit Covid-19 selalu ada, karena memang setiap hari, profesinya bergelut dengan hal tersebut.

"Namun yang paling saya takutkan adalah keluarga saya. Jangan sampai mereka tertular Covid-19. Harapan saya yang paling utama kepada Allah SWT agar mereka sehat," imbuh Sri Melati yang kerap disapa Imel, warga Tenayan Raya Pekanbaru belum lama ini.

Dokter spesialis paru ini mengatakan, bahwa sebelum masuk ruang pasien, dirinya selalu berdoa agar selalu dijaga dari virus yang hingga kini belum ada obatnya. Hal juga paling penting selama bekerja adalah selalu memeriksa APD (Alat Pelindung Diri).

Karena sedikit saja, ada keteledoran akibatnya akan fatal. Untuk itulah setelah menggunakan APD dia selalu bercermin dan meminta bantuan perawat untuk memperhatikan apa yang kurang lengkap atau salah.

"Saya selalu menggunakan kaca jika pakai APD, saya selalu ditemani perawat, takut ada yang lupa, takut ada celah, celah di pinggir muka yang dikawatirkan bisa masuk virus diberi pelekat. Saya sama perawat saya selalu saling mengkoreksi, kadang saya juga salah, misalnya perawat ngigatin, topi dulu dok, baru kaca mata," ucap wanita yang sudah dikarunia dua anak ini.

Menggunakan APD menurutnya bukanlah perkara mudah, karena selain harus hati hati uniform untuk mencegah agar terhindar dari virus corona ini terasa gerah. Apalagi saat bekerja terasa gatal dan buang air. Ini belum ada alat seperti kaca mata yang berembun sehingga sulit untuk melihat.

"APD itu terasa gerah. Pakai masker paling lama itu manusia 45 menit. Kalau kita pakai masker yang N95, kemudian ditambah pakai masker bedah, kemudian pakai fesil, kaca mata, topi. Paling parahnya lagi kalau kaca matanya berembun, gimana kita jalannya, bisa jatuh.," ucap Imel.

Selain rawan tertular, hal yang paling memberatkan adalah pandangan orang kepada keluarganya. Dimana mereka merasa dikucilkan di tengah masyarakat. Padahal Imel mengaku selalu menjaga anak anaknya. Dia tidak berani mendekat ke dua buah hatinya. Dia hanya bisa melihat dari kejauhan.

"Saya itu selalu mandi. Setelah menangani pasien saya mandi, kemudian ke hotel tempat penginapan, saya mandi. Sampai rumah saya mandi. Namun saya memang tidak bisa mendekat. Pulang di rumah saya tetap sebagai ibu rumah tangga, karena tidak ada pembantu. Anak saya sering berdua saja, karena papanya juga sama seperti saya, menangani Covid 19," ucapnya.

"Kedua anak saya dijauhi warga, karena tau profesi orangtuanya. Jadi mereka mainnya hanya berdua saja di rumah selama ini. Kadang saya kalau bekerja selalu ingat mereka, gimana sekolahnya, gimana PR mereka dikerjakan apa tidak. Pulang piket, saya tidak bisa langsung pulang, ke poli klinik ke bangsal nengok pasien lainnya. Tapi yang paling sedih itu, anak saya dijauhi orang. Tapi ya sudahlah, saya ikhlas, karena Allah tau pekerjaan saya membantu orang lain. Mudah mudahan juga Allah melindungi saya dan keluarga," harapnya.

Saat lebaran, dia juga mengaku sedih karena tidak bisa berlebaran dengan keluarga. "Saat lebaran pertama saya piket pagi, langsung ke RSUD tidak bisa bercengkrama dengan anak. Untuk bisa merasakan suasana lebaran, saya makan lontong bersama perawat," imbuhnya.

Selain duka, suka ada juga yang membuatnya bergembira menangani Covid-19. "Kalau sukanya saya senang sekali karena pasien Covid itu sembuh. Dok saya sudah boleh pulang, saya sembuh, dialog dengan pasien seperti itulah yang membuat saya bahagia. "Semoga Covid-19 ini segera hilang," harapnya. (NAT)