Di Jepang Barang yang Hilang Kemungkinan Besar Kembali, Kecuali Payung

Jumat, 24 Januari 2020

Foto: Getty Images.

Riauaktual.com - Norma budaya, pengaruh agama yang kompleks, dan petugas kepolisian yang ramah membuat kehilangan barang di Jepang bukan masalah besar.

Bagi kebanyakan orang, kehilangan tas atau dompet sangat menyebalkan.

Meskipun ponsel sekarang bisa dipakai untuk melakukan pembayaran dan bisa membantu kita menemukan jalan pulang, tetapi rasanya tetap lebih menenangkan andai kita membawa kartu identitas dan kartu bank.

Selain itu, kehilangan dompet dan tas juga berarti Anda harus memblokir kartu dan mengganti kunci rumah.

Namun, ada satu tempat di mana ada kemungkinan besar Anda bisa bertemu lagi dengan barang-barang hilang itu: Tokyo.

Dengan populasi dalam kota yang mendekati 14 juta orang, jutaan barang hilang di Tokyo setiap tahunnya. Namun, sejumlah besar barang itu kembali ke pemiliknya.

Pada 2018, lebih dari 545.000 kartu identitas dikembalikan kepada pemiliknya oleh Polisi Metropolitan Tokyo - 73% dari jumlah total kartu yang hilang.

Ada pula 130.000 ponsel (83%) dan 240.000 dompet (65%) yang ditemukan. Barang-barang ini seringkali dikembalikan pada hari yang sama.

"Ketika saya tinggal di San Francisco, saya ingat sebuah berita tentang seseorang di Chinatown yang kehilangan dompet. Orang lain menemukan dan menyerahkannya kepada polisi," kata Kazuko Behrens, seorang psikolog dari SUNY Polytechnic Institute, New York, AS.

Itu adalah kasus yang sangat langka sehingga penemu dompet pun diwawancarai di saluran berita lokal dan diberi julukan "orang jujur".

Tindakan yang menunjukkan integritas nyata seperti itu tidak jarang terjadi di Jepang, tempat asal Behrens.

"Bagi [orang Jepang] itu seperti, 'Ya iyalah! Tentu saja dompetnya akan dikembalikan'."

Justru malah lebih langka jika dompet itu tidak kembali.

Apa untungnya bagi penemu yang cukup jujur dan menyerahkan barang yang ditemukannya? Tampaknya bukan untuk imbalan.

Dari 156.000 ponsel yang dikembalikan pada tahun itu, tidak ada barang yang diberikan kepada penemu atau diklaim oleh Negara (17% ponsel yang pemiliknya tidak ditemukan, dihancurkan).

Para petugas di kantor polisi Jepang, yang lingkupnya kecil (disebut koban), memiliki citra yang sangat berbeda dari polisi di tempat lain.

Pos polisi semacam itu berlimpah di kota-kota Jepang (di Tokyo ada 97 per 100 kilometer persegi, dibandingkan dengan 11 kantor polisi per 100 kilometer persegi di London).

Artinya, Anda tidak pernah terlalu jauh dari bantuan.

Para polisi yang ditempatkan di sana ramah. Mereka terkenal sering memarahi remaja yang nakal atau membantu orang tua menyeberang jalan.

"Jika seorang anak melihat polisi di jalan, mereka biasanya menyapa mereka," kata Masahiro Tamura, seorang pengacara dan profesor hukum di Universitas Kyoto Sangyo, Jepang.

"Untuk orang tua yang tinggal di lingkungan itu, petugas polisi kerap melakukan pengecekan ke tempat tinggal mereka untuk memastikan mereka baik-baik saja."

Para petugas ini sangat disayang, sehingga mereka menjadi subyek seri buku komik terkenal yang disebut Kochikame: Tokyo Beat Cops yang sudah dibuat selama 40 tahun.

"Menyerahkan barang yang hilang atau terlupakan adalah sesuatu yang diajarkan pada usia muda," kata Tamura.

"Anak-anak didorong untuk mengirimkan barang-barang yang hilang ke kantor polisi, bahkan jika itu hanya 10 yen (Rp 1.200). Jika seorang anak mengembalikan koin ini ke Koban, petugas akan memperlakukannya secara resmi sebagai barang yang hilang. Laporan dibuat, dan koin itu diambil oleh polisi."

Meski demikian, mengetahui bahwa tidak akan ada yang melaporkan kehilangan koin senilai Rp 1.200, polisi kemudian mengembalikan koin itu sebagai hadiah.

"Oleh karena itu, meskipun nilainya sama, proses penyerahan uang ke polisi berbeda dengan jika anak itu langsung mengambil uang temuan itu untuk dirinya. Mengambil uang yang ditemukan adalah pencurian, tapi uang dari polisi adalah hadiah."

Dalam sebuah riset yang membandingkan praktik pengembalian barang di New York dan Tokyo, 88% ponsel yang hilang dikembalikan ke polisi di Tokyo.

Sementara, hanya 6% ponsel yang "hilang" di New York yang dikembalikan.

Penelitian itu juga menunjukkan, sebanyak 80% dompet yang hilang di Tokyo juga dikembalikan.

Sementara di New York, angkanya hanya 10%.

Banyaknya kantor polisi memang membuatnya jadi lebih mudah, tetapi, apakah ada faktor lain?

Kejujuran
Payung yang hilang, di sisi lain, jarang diambil oleh pemiliknya.

Dari 338.000 payung yang diserahkan ke bagian 'Barang Hilang' di Tokyo pada tahun 2018, hanya 1% yang kembali ke pemiliknya.

Sebagian besar, sekitar 81%, diklaim oleh pencari, yang merupakan suatu hal yang unik.

Banyaknya jumlah payung yang dipakai warga Jepang mendorong fenomena ini.

Mengetahui bahwa banyak orang akan lupa untuk mengklaim payung mereka, Satoshi, seorang mantan penduduk Suginami-ku, Tokyo, mengatakan ia akan "menipu" kantor Barang Hilang untuk memberinya payung jika dia kehujanan.

Satoshi menggambarkan jenis payung paling umum, yaitu payung plastik bening yang dijual di setiap toko seharga 500 yen (Rp 62 ribu).

Karena ada begitu banyak payung tergeletak di konter Barang Hilang, Satoshi selalu mendapatkan payung gratis.

Maka, mungkin kejujuran tidak selalu dikedepankan. Faktanya, Jepang memiliki sejarah yang rumit dengan kejujuran, kata Behrens.

Misalnya soal perawatan kesehatan. Sampai 10 atau 20 tahun yang lalu, sangat wajar bagi dokter di Jepang untuk merahasiakan diagnosa dari pasien mereka.

Sebaliknya, dokter hanya akan memberi tahu keluarga pasien.

Jadi, seorang pasien tidak akan tahu apakah mereka menderita kanker, misalnya.

"Orang-orang Jepang percaya bahwa pasien mungkin akan kehilangan keinginan untuk hidup, maka, keluarga dekat akan mencoba untuk bertindak seperti tidak ada yang salah," kata Behrens.

"Orang Barat terkejut mendengarnya."

Baru-baru ini, kebiasaan ini sudah mulai berubah, tetapi itu membuat beberapa orang, seperti Behrens, percaya bahwa orang Jepang pada dasarnya tidak lebih jujur daripada kita semua.

Behrens mengatakan orang Jepang dikondisikan dengan "ketakutan" yang berasal dari kepercayaan Buddha tentang reinkarnasi.

Meskipun mayoritas orang Jepang tidak mengidentifikasi diri dengan agama yang terorganisir, banyak yang percaya pada praktik Shinto dan Buddhisme rakyat.

Penekanannya ada pada kehidupan spiritual setelah kematian, yang memainkan peran besar dalam pemakaman.

Adakah yang menonton?
Setelah tsunami melanda timur laut Jepang pada tahun 2011, banyak yang kehilangan tempat tinggal, tanpa harta, makanan atau air.

 

Tetapi bahkan dalam kesulitan, orang-orang menunjukkan keberanian untuk menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan mereka sendiri.

Behrens menyamakan ini dengan etos Buddhis "gaman" yang mirip dengan kesabaran atau ketekunan: untuk memikirkan orang lain daripada diri sendiri.

Dilaporkan secara luas di media bahwa penjarahan di daerah-daerah yang terdampak di Jepang jauh lebih sedikit daripada yang terlihat di daerah yang sama-sama hancur di negara lain.

Faktanya, penjarahan adalah sama sekali di luar karakter Jepang, kata Tamura.

Namun, dia menunjukkan satu contoh, yang mengungkapkan wawasan yang menarik tentang jiwa manusia.

"Setelah reaktor nuklir di Fukushima rusak karena gempa 2011, daerah itu ditutup selama berbulan-bulan karena radiasi yang tinggi," kata Tamura.

"Pencurian hanya terjadi karena sama sekali tidak ada polisi atau siapa pun di sekitar yang bisa menyaksikan tindakan kriminal."

Tamura menggambarkan konsep hito no me; atau 'mata masyarakat'. Bahkan tanpa kehadiran polisi, pencurian tidak akan terjadi karena ada hito no me.

Tetapi di tempat di mana tidak ada siapapun yang menyaksikan, pencurian memang terjadi.

Dalam Shintoisme, segala sesuatu, dari batu hingga pohon, memiliki roh.

Sementara Shintoisme yang terorganisasi adalah praktik minoritas di Jepang, objek 'maha tahu' menembus budaya.

Di sinilah asal dugaan Behrens bahwa orang Jepang dimotivasi oleh "ketakutan"; jika Anda selalu diawasi dan watak alami Anda adalah memikirkan orang lain terlebih dahulu, wajar jika Anda rela repot-repot menyerahkan barang yang hilang.

Kolektivisme
Secara umum, orang-orang di Asia Timur berbagi sifat kolektif daripada sifat individualistis yang seringkali dimotivasi oleh egoisme.

Mereka memprioritaskan orang lain dan terlibat dalam perilaku yang menguntungkan kelompok.

Sementara Behrens merasa pesimistis dengan generalisasi itu di awal kariernya, dia percaya bahwa secara keseluruhan semangat itu memang ada.

Dalam sebuah penelitian, para ibu AS dan Jepang diminta untuk membicarakan aspirasi mereka untuk anak-anaknya.

Behrens mendapati bahwa ibu-ibu Jepang menginginkan anaknya menjalani kehidupan futsuu (rata-rata atau biasa), tetapi itu adalah sesuatu yang jarang diinginkan orang Amerika.

Memang tidak semua ibu AS ingin anak mereka menjadi superstar internasional. Tetapi keinginan orang Jepang untuk hidup biasa saja sangat mencolok.

"Pandangan kolektif adalah tentang kepemilikan. Dikucilkan dari kelompok akan menjadi trauma paling signifikan bagi kesehatan mental," kata Behrens.

"Sangat penting untuk menjadi bagian dari suatu kelompok dengan cara tertentu. Dengan melakukan perbuatan baik, mengembalikan dompet; Anda merasa bahwa di masa depan orang lain akan melakukan hal yang sama. "

"Itu adalah sesuatu yang saya percaya sudah ditanamkan dalam diri kita," katanya.

"Ada keindahan yang ditanamkan dalam diri kita untuk melakukan sesuatu untuk orang lain. Ketika seseorang menyerahkan sesuatu kepada polisi, mereka tidak berusaha mendapatkan sesuatu kembali.

"Bagaimana jika pemiliknya sedang dalam masalah atau membutuhkan barang-barang itu?".

"Intinya, tentu saja, bahwa orang-orang di Jepang mendapatkan kembali barang mereka yang hilang karena adanya hukum dan norma, bukan gagasan intrinsik tentang kejujuran. Tapi itu berhasil," kata Mark D. West, seorang profesor di Fakultas Hukum Universitas Michigan, AS, dan seorang ahli hukum Jepang.

West adalah peneliti yang melakukan tes menjatuhkan dompet di New York dan Tokyo.

Konsep hukum kepemilikan di Jepang tidak luar biasa "asing", katanya.

"Properti komunal hampir tidak ada, kecuali bahwa banyak orang yang tampaknya menganggap payung sebagai barang yang boleh diambil jika tidak diamankan dengan baik."

Banyaknya petugas polisi dan tradisi budaya yang mendorong orang untuk berpikir dulu tentang orang lain mungkin lebih mencerahkan daripada anggapan bahwa orang Jepang lebih jujur, di mata Behrens dan West.

 

 

Sumber: BBC Indonesia