Garam Impor Dijamin Lebih Murah dari Produksi Nasional, Kok Bisa?

Garam Impor Dijamin Lebih Murah dari Produksi Nasional, Kok Bisa?
Garam. (Foto: Reuters)

Riauaktual.com - Pemerintah memutuskan untuk membuka keran impor garam sebanyak 3,7 juta ton. Langkah tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan garam bagi pelaku industri.

Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia Tony Tanduk mengatakan, keputusan pemerintah untuk melakukan impor sangatlah tepat. Pasalnya, dengan impor biaya yang dikeluarkan lebih sedikit jika dibandingkan harus memproduksi sendiri di dalam negeri.

Tony menjelaskan jika pemerintah memproduksi garam industri sendiri, membutuhkan biaya energi dan produksi yang besar. Apalagi menurutnya, cara pembuatan garam di Indonesia hanya baru melalui satu tahap jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya yang dilakukan secara beberapa tahapan.

Selain itu, untuk membuat menjadi garam industri diperlukan langkah pengkristalan lagi. Namun upaya pengkristalan tersebut nantinya justru akan membuat kualitas garamnya menjadi berkurang.

"Kalau di negara lain dilakukan secara bertahap. Salah satu yang bertahap itu PT garam. Namun pada saat kristalisasi itu dia di tanah. Kemudian kalaupun ditingkatkan kualitasnya akan terjadi penyusutan 20-30% dan akan memakan biaya energi dan produksi," ujarnya di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (20/3/2018).

"Khusus mengenai kualitas masalah kita adalah lahan kita tidak sesuai skala keekonomian. Lahan garam itu kan 1.000 hektar. Kalau di Australia kan itu sampai 10.000 hektare lahan garam. Memang itu agak sulit untuk memenuhi garam aneka pangan," imbuhnya.

Sementara lanjut Tony, jika melakukan impor, pemerintah hanya mengeluarkan biaya yang relatif lebih murah. Apalagi harga garam tidak terpaku pada satu harga saja seperti layaknya harga minyak maupun batu bara.

Menurutnya, harga garam di negara lain bisa disesuaikan dengan banyaknya jumlah garam industri yang akan dibeli. Menurut perkiraannya, jika pemerintah membeli dengan kapasitas besar maka harga yang dipatok hanya USD25 saja per ton.

"Kalau impornya besar itu bisa USD25 per ton, kalau kecil kecil USD35 -40 per ton , makanya bagaimana mahalnya dan bagaimana perlunya penyesuaian harga," ucapnya.

Menurut Tony, mahalnya produksi dalam negeri tidak terlepas dari lahan yang tidak sesuai keekonomian. Menurutnya, di Australia disediakan lahan seluas 1.000 hektare untuk memproduksi garam, sementara di Indonesia lahan yang disediakan hanya seluas 1-2 hektare saja.

"Biaya produksi tinggi itu karena lahan kita itu tidak sesuai dengan skala kekonomian, kalau di Australia itu bisa 1000 ha kita paling hanya 1-2 ha dan dikumpulkan sehingga produksinya di satu tempat, itu agak sulit untuk penuhi garam aneka pangan," jelasnya.

Sementara, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Diaahjono mengatakan, salah satu penyebab dirinya memutuskan impor adalah karena petambak garam belum mampu memasok garam industri. Selain itu, faktor cuaca dan kelembaban udara juga ikut mempengaruhi kualitas dari kandungan garam.

"Jadi garam lokal itu rata-rata maksimal bisa mencapai 94% NaCl, untuk jadi industri hari 97%ke atas. Bisa melalui pemprosesan oleh industri pengolahan garam," ucapnya. (Wan)

 

Sumber: Okezone.com

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index