Catat! Pemilik Smartphone Mahal Harus Lapor

Catat! Pemilik Smartphone Mahal Harus Lapor
Foto: Koran Sindo

Riauaktual.com - Para pengguna telepon pintar (smartphone) berharga mahal diimbau melaporkan kepemilikan gadget tersebut dalam surat pemberitahuan (SPT) pajak tahunan. Imbauan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan itu ditujukan sebagai sarana untuk sinkronisasi penghasilan yang dilaporkan wajib pajak (WP) dengan tambahan harta, termasuk di dalamnya bagian penghasilan yang dikonsumsi.

Di Indonesia, jumlah penjualan smartphone terbilang besar. Data International Data Corporation (IDC) menyebutkan, pada kuartal II/2017 dan kuartal II/2016 jumlah total pengiriman smartphone dari berbagai tipe mencapai 7,9 juta unit. Angka tersebut meningkat bila dibandingkan dengan kuartal yang sama pada 2015 yang mencapai 7,6 juta unit. Menurut IDC, total pasar smartphone di Indonesia didominasi segmen lowend, yakni 43%.

Di segmen ini range harga smartphone dibanderol sekitar Rp1,3 juta-2,6 juta. Adapun segmen menengah (Rp2,6 juta-5,3 juta) penjualannya mencapai 28% dari total pasar. Sedangkan segmen ultra-high-end yang dibanderol di atas Rp8 juta hanya 1% dari total jumlah unit yang beredar.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, keseluruhan harta termasuk smartphone yang dibeli dari penghasilan yang telah dibayar pajaknya tersebut wajib dilaporkan dalam lampiran SPT.

“Dengan laporan tersebut akan menjadi sinkron antara besarnya penghasilan dengan besarnya tambahan harta (plus konsumsi) yang terjadi dalam satu tahun untuk dilaporkan dalam SPT tahunan,” kata Yoga.

Namun ketika disinggung apakah pelaporan kepemilikan smartphone premium itu untuk membidik pajak tambahan, Yoga tidak memerincinya. Dia hanya menegaskan bahwa pada dasarnya SPT tahunan wajib pajak (WP) orang pribadi digunakan untuk melaporkan dua hal, yakni penghasilan beserta pajak (PPh)-nya dan harta.

Dari penghasilan yang dilaporkan dan dibayar pajaknya tersebut, lazimnya sebagian digunakan untuk konsumsi dan sebagian lainnya menjadi harta, misalnya uang kas/tabungan/ investasi atau barang-barang seperti properti, kendaraan bermotor, perhiasan atau barang lain, termasuk handphone.

Yoga menjelaskan, Undang- Undang Pajak memang tidak mengatur secara rigid batasan nilai maupun jenis harta yang harus dilaporkan dalam SPT tahunan, melainkan dilaporkan sesuai dengan nilai nominal tanpa adanya batasan. Dengan kata lain kas, simpanan maupun investasi dilaporkan sesuai dengan nilai nominal tanpa batasan.

“Namun untuk selain kas/ setara kas, tentu asas materialitas dapat menjadi pedoman. Pakaian, tas, sepatu atau peralatan rumah tangga (piring, gelas) mungkin tidak perlu dilaporkan kecuali yang harganya mahal meskipun tidak dilarang juga kalau mau dilaporkan semua. Tapi properti, kendaraan bermotor, furniture atau barang-barang elektronik tentunya harus dilaporkan, kecuali harganya sangat murah,” jelasnya.

Menurut dia, aspek materialitas ini dapat menjadi pertimbangan bagi WP untuk melaporkan harta-harta yang akan dilaporkan atau tidak dilaporkan dalam SPT tahunan. Yoga menambahkan bahwa pelaporan harta merupakan sarana untuk mengecek kebenaran penghasilan yang dilaporkan karena ada korelasi antara keduanya.

“Tidak ada sanksi secara spesifik kalau harta tidak dilaporkan. Hanya saja, apabila tidak konsisten melaporkan harta, suatu saat akan menjadi sulit untuk membuktikan. Misalnya dalam hal terjadi pemeriksaan dan pemeriksa memiliki data-data harta WP, apakah harta-harta tersebut diperoleh dari penghasilan yang telah dilaporkan dan dibayar pajaknya,” sebut dia.

Berdasarkan data IDC, lima besar merek smartphone di Indonesia yang beredar pada kuartal II/2017 adalah Samsung, OPPO, Advan, Asus, dan Xiaomi. Smartphone di kategori midrange, yaitu di rentang harga USD200-USD400, meraih pangsa pasar sebesar 28%, menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dari pangsa pasar tahun sebelumnya yang hanya 13%.

“Selama beberapa tahun terakhir, berbagai vendor smartphone terus fokus dalam memenuhi regulasi tingkat kandungan dalam negeri dan sekarang sebagian besar dari mereka sudah memenuhi regulasi tersebut, sehingga mereka dapat mengalihkan sumber dananya untuk berupaya melengkapi fitur dan nilai dari produk mereka,” ujar Associate Market Analyst IDC Indonesia Risky Febrian dalam keterangan tertulisnya.

Tak Masuk Akal

Dalam dua hari terakhir para penggemar smartphone di Indonesia dihebohkan dengan berita peluncuran iPhone seri X, iPhone 8, dan iPhone 8 Plus. Meski belum jelas kapan ketiga produk baru dari Apple itu masuk ke pasar Indonesia, banyak yang penasaran dengan merek kenamaan yang diciptakan Steve Jobs itu.

Terlebih lagi di situs jejaring sosial Twitter, iPhone X juga ramai dibahas warganet. Di sejumlah lapak jual beli online, bahkan sudah ada penjual yang membuka pre order untuk iPhone 8 64 GB dengan kisaran harga Rp16-19 juta.

Adapun iPhone 8 Plus 64/256 GB dibanderol Rp18- 21 juta. Sedangkan iPhone X 64/255 GB dipatok Rp23 - 27 juta. Bahkan akun resmi Ditjen Pajak, @DitjenPajakRI, turut meramaikan peluncuran iPhone tersebut dengan cuitan yang mengimbau warganet melaporkan kepemilikan smartphone mahal tersebut.

“Lagi heboh smartphone yang baru rilis ya? Ingat, tambahkan smartphone di kolom harta SPT tahunan ya,” demikian cuitannya. Pakar telekomunikasi Nonot Harsono mengatakan, imbauan Ditjen Pajak untuk melaporkan barang mewah seperti smartphone dalam SPT WP orang pribadi dinilai tidak masuk akal.

Dia beralasan, smartphone seperti iPhone dan sejenisnya tidak bisa disamakan dengan barang bergerak lain seperti mobil maupun motor. “Mobil atau motor sudah punya nomor sendiri sebagai barang kena pajak. Masak smartphone harus punya nomor seperti STNK. Kan jadinya konyol. Lagipula kalau sekadar imbauan masyarakat tentu saja masih enggan mendaftarkan harta mobile smart phone miliknya,” kata dia.

Nonot menilai ada banyak cara lain yang bisa dilakukan Direktorat Jenderal Pajak untuk mendata penggunaan smartphone di Indonesia. “Masih banyak sektor yang potensial bisa digarap oleh Direktorat Jenderal pajak. Saya misalkan toko online itu sangat bertebaran di dunia maya.

Coba bayangkan kalau toko konvensional yang notabene berupa bangunan gedung kena pajak tutup semua dan pindah ke toko online. Itu yang harus dipikirkan, garap online atau e-commerce dengan serius. Jangan masyarakat lagi yang dipajakin,” sebutnya.

Di bagian lain, para vendor yang membawa produk smartphone premium ke Indonesia seperti iPhone maupun Samsung tidak bersedia berkomentar lebih jauh. Director of Marketing and Communications PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA) Djatmiko Wardoyo, sebagai salah satu distributor iPhone dari Apple, mengaku belum bisa memberikan pernyataan mengenai hal tersebut.

“Saya belum bisa kasih statemen karena masih menunggu respons dari prinsipal,” ujarnya. Senada, Direktur Pemasaran IT dan Mobile Samsung Electronics Indonesia Vebby Kaunang juga belum bisa memberikan pernyataan.

 

Sumber : okezone

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index