Maju Jadi Calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah, ASN Harus Ajukan Pengunduran Diri

Maju Jadi Calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah, ASN Harus Ajukan Pengunduran Diri
ilustrasi (int)

Riauaktual.com - Semakin mendekati pesta demokrasi lima tahun sekali, Aparatur Sipil Negara(ASN) yang mencalonkan dirinya menjadi kepala daerah, baik itu dari TNI, Polri, PNS, pegawai BUMN, BUMD, termasuk juga Kepala Desa dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), diwajibkan mengajukan pengunduran diri dari jabatannya.

Pasal 7 ayat (2) huruf t UU No 10 Tahun 2016 tentang  Perubahan Kedua Atas UU No 1 Tahun2015 tetang Penetapan Perpu no 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang menyatakan bahwa “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: Menyatakan secara tertulis pengunduran dirisebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.”

Memperhatikan pasal tersebut, ada dua hal yang harus diketahui oleh ASN. Pertama, harus menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota ASN. Kedua, pengunduran diri dilakukan sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan.

Untuk menjadi perhatian bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf t sekiranya harus dibaca secara komprehensif dengan huruf lainnya yang menjadi syarat calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), selanjutnya bahwa Pasal 7 ayat (2) harus dibaca dalam satu kesatuan, tidak dapat dibaca terpisah karena Pasal 7 ayat (2) huruf t mengatur secara imperative tentang syarat-syarat calon kepaladaerah dan calon wakil kepala daerah,” paparnya. Dengan demikian maka makna menyatakan secara tertulis pengunduran diri ASN dilaksanakan sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.

Bahkan Pasal 7 ayat (2) huruf t telah diuji olehMahkamah Konstitusi beberapa kali, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK No 49/PUU-XIII/2015 yang dalam putusannya menyatakan bahwa permohoan pengujian konstitusional Pasal 7 ayat (2) huruf t mutatis mutandis berlaku putusanMK No 41/PUU-XII/ 2014 dan No 45/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden, serta Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Bahkan dalam putusan MK tersebut jika tidak dimaknai demikian maka bertentangan dengan UUD 1945.

Putusan MK sebagaimana dimaksud juga terkait dengan kedudukan ASN sebagaimana diatur dalam Pasal 199 UU No 5 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa “Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pertama yang akanmencalonkan diri  menjadi gubernur dan wakilgubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secaratertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon.”

Menurut MK dalam Putusannya bahwa hal tersebut memang telah memberikan kepastian hukum namun mengabaikan aspek keadilan sehinggabertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang tegas menyatakan bahwa hak dimaksud bukanlah sekadar hak kepastian hukum melainkan hak kepastian hukum yang adil.

Jika ASN diminta pengunduran diri sebelum mendaftar atau bahkan pada saat mendaftar menurut MK hal tersebut hanyalah merupakan tahapan awal sebelum seseorang dinyatakan resmi atau sah sebagai calon peserta pemilihan setelah dilakukan verifikasi oleh penyelenggara pemilu.

Jika saja ASN harus mengundurkan diri sejak mendaftar pada partai politik, dan harus mengundurkan diri, padahal hampir semua partai politikmenggunakan pola rekrutmen dengan menggunakan survei, maka bagaimana jika tidak dicalonkan olehPartai Politik atau gabungan partai politik karena surveinya tidak bagus, atau demikian halnya jika sudah daftar namun hasil verifikasi penyelenggarapemilu tidak meloloskan ASN sebagai pasangan calon, maka hal ini berakibat pada hak memilih dan dipilih bagi ASN dapat terbatasi untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan yang dibedakan dan dikecualikan dari dan/atau dengankelompok warga Negara dan/atau profesi lain, sehingga pembatasan, pembedaan dan pengecualian dapat dikualifikasikan sebagai bentuk diskriminatif karena telah melakukan pembatasan hak warga negara.

Meskipun pembatasan terhadap hakkonstitusional dapat dilakukan oleh Negarasebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, namun pembatasan dari undang-undang tersebut tidak boleh bersifat absolut melainkan bersyarat (conditionaly) dan memenuhi syarat-syarat intensionalitas dalam arti dimaksudkan untuk tujuan-tujuan yang bersifat limitatif sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK 017/PUU-I/2003 menyatakan bahwa “hak konstitusional warga Negara untukmemilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakanpelanggaran terahadap HAM warga negara.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka makna Pasal 7 ayat (2) huru t sangatlah tegas dalam rangka perlakuan kepastian hukum yang berkeadilan yang sudah tegas diatur dalam UU No 10 Tahun 2016 dan dilatarbelakangi oleh beberapa putusanMahkamah Konstiusi. Dengan demikian makaapabila ASN akan mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah  harus menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai ASN yang dilaksanakan sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.

(DR Atang Irawan, penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unpas Bandung)


Sumber : okezone

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index