Sejak 2013, laju pertumbuhan utang lebih tinggi dari ekonomi RI

Sejak 2013, laju pertumbuhan utang lebih tinggi dari ekonomi RI
Foto : Utang. ©Shutterstock

Riauaktual.com - Kondisi utang pemerintah, masih dalam taraf aman sesuai dengan undang-undang. Kendati demikian, pemerintah juga harus mewaspadai kemampuan bayar utang tersebut. Dalam enam tahun terakhir misalnya, pertumbuhan utang selalu di atas 10 persen, sementara pada periode yang sama, tingkat penerimaan terus menurun.

Hingga Mei 2017, total utang pemerintah sudah mencapai Rp 3.673 triliun atau rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 27 persen. Besaran tersebut masih dapat dikatakan aman, jika dilihat dari sisi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara yang membatasi utang maksimal 60 persen dari PDB.

Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri (KEIN) Arif Budimanta mengingatkan, di tengah utang yang terus meningkat, justru penerimaan terus mengalami penurunan. Hal ini tentu akan mempengaruhi kemampuan bayar. Dengan demikian, peluang membayar utang melalui penarikan utang kembali menjadi sangat besar.

"Sebab pertumbuhan utang dalam empat tahun terakhir sudah tidak setara dengan pertumbuhan penerimaan negara. Risiko terhadap utang ini perlu menjadi perhatian. Jangan sampai kita terjebak dalam kubangan utang," ujarnya di Jakarta, sebagaimana dikutip dari merdeka.com, hari ini.

Data Kementerian Keuangan menyebutkan jika pada tahun 2012 pertumbuhan penerimaan negara masih tercatat 15 persen dan utang 9 persen, tahun-tahun selanjutnya mulai terbalik. Pada 2013, utang sudah tumbuh 20 persen dan total penerimaan negara baik dari pajak maupun non pajak hanya 11 persen. Sedangkan tahun 2016, utang tumbuh 11 persen dan penerimaan hanya 3 persen.

Kondisi inilah harus diwaspadai, karena berpotensi menimbulkan risiko beban fiskal tambahan bagi pemerintah pusat. Apalagi dalam hitungan KEIN, pada 2016 proporsi pembayaran bunga utang terhadap total belanja pemerintah mencapai 9,8 persen. Ditambah lagi dengan beban transfer ke daerah, bebannya akan semakin besar.

Mengacu pada data Kementerian Keuangan, realisasi transfer ke daerah pada tahun 2016 mencapai Rp 663,6 triliun. Dana tersebut sudah termasuk dana perimbangan, dana insentif daerah, serta dana otonomi khusus dan keistimewaan. Sedangkan total belanja negara mencapai Rp 1.864,3 triliun. Dengan demikian, 35,7 persen total belanja negara adalah dana yang ditransfer ke daerah.

Dari data tersebut, dia menjelaskan, hampir 50 persen belanja negara sudah harus dialokasikan untuk transfer ke daerah dan bayar bunga utang. "Ini membuat celah fiskal menjadi sangat sempit," tegasnya.

Dalam kondisi seperti itu, ruang gerak pemerintah untuk mendorong dan merealisasikan program strategis menjadi sangat terbatas. Sementara di lain sisi, sekitar 60 persen dari 415 kabupaten di Indonesia masih tergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU), yang merupakan bagian dari program desentralisasi fiskal. Pemerintah daerah dikatakan memiliki ketergantungan, jika proporsi DAU terhadap APBD melebihi 50 persen.

Untuk itu, Arif meminta pemerintah lebih berhati-hati dalam mengelola keuangan negara. Baik dari sisi penarikan utang maupun transfer daerah, karena pada akhirnya menjadi beban bagi anggaran.

"Pemerintah harus mendorong agar dana transfer ke daerah membuat daerah lebih produktif, sehingga pada akhirnya akan mengurangi beban anggaran pemerintah pusat," jelas Arif.

Pada saat bersamaan, dia melanjutkan, pengelolaan utang juga harus menjadi perhatian serius agar kondisi fiskal tetap sehat. Saat ini bebannya sudah sangat berat, apalagi mengingat penerimaan dari perpajakan tidak menggembirakan.

Dalam lima tahun terakhir, rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax rasio) juga turun. Jika pada tahun 2014 masih 10,9 persen, pada tahun 2015 dan 2016 masing-masing sebesar 10,8 dan 10,4 persen.


 

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index