Komisaris Kantor Berita Nasional Boni Hargens, harus dua kali terperosok demi bela Ahok

Komisaris Kantor Berita Nasional Boni Hargens, harus dua kali terperosok demi bela Ahok
Boni Hargens1 (rimanews)

Riauaktual.com - Boni Hargens, akademisi UI yang kemudian jadi tim sukses Jokowi pada Pilpres 2014, menerima berkah menjadi komisaris Kantor Berita Nasional (KBN) Antara pada 26 Januari 2016. Jabatan ini adalah ganjaran bagi perannya turut memberikan ide dan kontribusi lain untuk kemenangan Jokowi.

Sebelum menjadi pejabat dengan gaji pokok puluhan juta rupiah itu, Boni sering tampil di media sebagai pengamat politik dengan analisis yang cukup berani. Sayang, di kemudian hari, keberaniannya ini hanya dimanfaatkan untuk mendukung posisi politiknya saat ini. Setidaknya, dua kali Boni melakukan pernyataan blunder demi membela Basuki Tjahaja Purnama, kepanjangan tangan PDIP-Jokowi.

Pertama adalah menohok Ketua Umum MUI KH. Ma’ruf Amin. Pada Selasa (22/11), Boni mengunggah foto lama pernikahan Ketua MUI KH Ma'ruf Amin di Twitter. Tak hanya itu, untuk mendukung satir yang ingin disampaikan, dia menulis, "Kami ucapkan selamat kepada Bapak Wakil Ketua MUI Ma'ruf Amin yang berusia 73 tahun. Hari ini menikahi wanita cantik Wury Estu Handayani, yang berusia 30 tahunan semoga kedua mempelai berbahagia dan langgeng sampai akhir hayat. Amin Yra."

Kontan, postingan Beni tersebut mendapat respons negatif dari sejumlah tokoh, termasuk yang mengenal Boni sendiri. Mereka secara umum menyayangkan cara Beni menyeret-nyeret privasi Ma’ruf. Gambar tersebut dinilai secara sengaja diunggah Beni untuk memojokkan kiai yang juga Ketua PBNU itu. Ma’ruf adalah salah satu ulama yang menilai ucapan Ahok adalah penistaan agama.

Akhirnya, Beni menghapusnya setelah foto yang dibuat pada 2014 itu dua jam bertengger di akun Twitternya. Beni mengaku dirinya mengunggah foto dan tulisan tersebut karena kesalahan teknis; dia salah pencet. Boni pun meminta maaf dan mengaku akan bersilaturahmi ke Ma’ruf sekembalinya dari luar negeri.

Foto yang diunggah pria asal Flores itu adalah foto pernikahan Ma’ruf dengan seorang janda asal Depok, Wuri Estu Handayani. Keduanya menikah di Masjid Sunda Kelapa Jakarta pada 31 Mei 2014. Saat itu, Ma’ruf berusia 70 tahun dan Wuri 39 tahun. Ma’ruf berstatus duda setelah istri pertamanya meninggal.

Pernyataan nista Boni yang kedua adalah soal analogi kemenangan Anies dengan pil penenang anak super autis. Sebagai akademisi, seharusnya Boni tahu bahwa penderita autis (dan sindrom apa pun) dilarang digunakan sebagai bahan olok-olok. Pernyataan itu sangat melukai penderita dan keluarga. Tetapi, demi memuaskan hasrat dukungan ke Ahok, Boni melupakan aturan dan tatakrama itu.

Boni dalam cuitan yang kontroversial itu menyamakan kemenangan Anies sebagai penenang sementara gejolak massa, tetapi tidak akan mengobati luka secara permanen laiknya pil penenang pada anak autis.

“Kemenangan ini spt pil yg diberikan pada anak super autis. Biar adem aja. Tapi tak akn menyembuhkn autisme dlm sekejap.#Salam Jakarta baru#,” cuit Boni di akun Twitter, yang diviralkan warga internet. Boni pun didesak mundur sebagai komisaris Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, dengan gaji puluhan juta rupiah per bulan itu yang tentu saja berlipat-lipat dari pendapatan profesi sebelumnya sebagai seorang dosen.

Intelektual korban kebrutalan medsos atau kehilangan asketisme?

Postingan Boni sudah jelas tidak memberikan keuntungan apa-apa, bahkan sebaliknya. Pada kasus dengan Kyai Ma’ruf, publik justru menjadi tahu bahwa Boni juga punya aib ketika belajar di Jerman. Beberapa teman Boni yang mendukung Ma’ruf melakukan pembelaan dengan balik menyebut bahwa pria asal Flores itu juga tak suci.

Pada kasus kedua, publik kompak membalas dengan menilai bahwa Boni adalah intelektual dengan kadar empati yang rendah. Stigma balasan ini tentu saja mengerikan—bagaimana ia ingin mendapat perhatian publik dengan cuitannya, tapi malah kena damprat.

Di jemari Boni, Twitter, Facebook, Instagram dan sejenisnya seolah tidak lagi bisa melakukan fungsi yang dibayangkan untuk menciptakan pola komunikasi yang lebih mudah dan positif antar kawan, kerabat, kolega, penggemar, idola atau lawan politik.

Selanjutnya, kasus Boni harus menjadi pelajaran bagi kaum akademisi. Mereka seharusnya, bersama pers, menjadi pilar keempat dalam demokrasi—sebagai pengawas tiga institusi: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Jika beralih ke dunia politik-populis, marwah kaum intelektual seharusnya tetap dijaga.

Seorang intelektual, cendekiawan atau ulama, ukurannya adalah asketisme, yakni mengosongkan diri dari hasrat-hasrat duniawi dan lebih fokus kepada amaliah suci demi kehidupan ukhrawi. Golongan intelektual dituntut memilikinya karena para cerdik pandai rawan dimanfaatkan idenya untuk kaum perusak.

Apabila kehidupan asketis ditanggalkan, kelompok intelektual akan terjebak pada keinginan untuk tenar, mengeruk kekayaan dan membebek pada kekuasaan. Di sinilah seorang intelektual dapat dikatakan cacat, atau tak berfungsi sebagaimana mustinya.

Kaum intelektual ibarat wajah pada sebuah tubuh; muka yang buruk dapat mempengaruhi performa keseluruhan tubuh. Dengan kata lain, performa diri seseorang dapat berantakan dengan rusaknya muka. Dalam kehidupan sosial, dan bernegara, wajah masyarakat adalah kaum intelektual mereka; jika kaum intelektual tidak fungsional, dapat dipastikan rusak pula sistem nilai di masyarakatnya.

Boni, dan para intelektual lain, seharusnya menyadari peran mereka di masyarakat. Predkat intelektual harus diemban sebagai amanah dengan sebaik-baiknya, meskipun saat ini sudah menjadi politisi atau apa pun. Jika bukan kepada kaum cendekiawan kita percaya, lalu siapa lagi kita percaya untuk dijadikan panutan? .


 

 

Sumber : rimanews

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index