Ambisi, kepanikan dan blunder Ridwan Kamil

Ambisi, kepanikan dan blunder Ridwan Kamil
ridwan kamil

Riauaktual.com - Ridwan Kamil tampak begitu berambisi untuk naik tahta dari seorang wali kota ke gubernur. Hal itu dibuktikan dari deklarasi pencalonannya pada Pilgub Jawa Barat 2018, yang cukup prematur bersama Partai NasDem.

Pada 19 Maret lalu, Ridwan menikmati arak-arakan di Lapangan Tegal Lega, Kota Bandung, sebagai bentuk dukungan dan deklarasi oleh NasDem untuk dirinya. Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh juga hadir di tengah ribuan kader dan simpatisan partai yang memenuhi lapangan Tegal Lega. Secara politis, Paloh mengaku memilih Emil karena dianggap mempunyai kapasitas dan kapabilitas untuk mempercepat pembangunan di Jawa Barat.

Sebagai seorang arsitek, Ridwan pasti melakukan kalkulasi di atas kertas sebelum dirinya mencalonkan diri. Hal ini sudah dilakukan Ridwan pada medio 2016. Pria yang akrab disapa Emil ini pada Agustus tahun lalu mengaku tengah menggelar survei untuk mengetahui tingkat elektabilitasnya di masyarakat.

Saat itu dia menyatakan jika elektabilitas rendah, dia tidak akan mencalonkan. Dari sini tampak bahwa Ridwan sangat ilmiah dan matematis—tidak bisa seseorang mencalonkan diri hanya bermodal keinginan dan mengikuti nafsu politik semata tanpa kalkulasi yang realistis.

Akan tetapi di luar itu, terdapat indikasi kepanikan di diri Ridwan, terutama pada pilihan partainya. NasDem di Jabar adalah partai gurem yang menempati urutan ke-10 pada Pemilu 2014 lalu dengan suara hanya 4,89 persen.

Dari sisi ini, yang diuntungkan dari deklarasi tersebut adalah NasDem, yang citranya bakal terdongkrak oleh popularitas Ridwan. Sebaliknya, Ridwan tampak turun kelas. Sepertinya ini kurang dibaca Ridwan yang disebabkan kepanikan, karena PKS kemungkinan mengusung kader sendiri, yang disebut-sebut istri Ahmad Heryawan yang bernama Netty Prasetiyani.

Saat merebut kursi wali kota Bandung, Ridwan dibeking oleh PKS dan Gerindra. Namun, kedua partai dikabarkan kapok dengan Emil karena dia dianggap kacang lupa kulit.

Selama ini, Ridwan yang sangat aktif di media sosial dan menjadi idola anak muda memang tampak sibuk menonjolkan citra dirinya semata, menanggalkan sama sekali peran kedua partai yang mengusungnya.

Maka, wajar PKS dan Gerindra menyimpan kekecewaan dan tak sudi mendukung Ridwan kembali, apalagi naik kelas untuk Pilgub Jabar. Jika kabar ini tercium media, tentu Ridwan lebih dulu menyadari. Oleh karena itu, dia menerima saja pinangan NasDem dengan persentase suara cuma secuil itu.

Gerindra dan PKS dalam Pemilu 2014 masing-masing menduduki peringkat ke-3 dengan 11.22% dan peringkat 5 dengan 8,98%. Seharusnya, dengan suara sebanyak ini, plus basis dukungan yang merata di daerah, Ridwan lebih berpeluang menang dengan kendaraan dua partai ini.

Penulis AS Christian Nestell Bovee (1820-1904) mengatakan, “Kepanikan adalah desersi dadakan dan akan menjadi musuh dalam imajinasi kita.” Jika apa yang dikatakan Bovee benar, deklarasi Ridwan yang prematur tersebut bakal menjadi blunder yang bakal merampas kemenangannya.

Gejala blunder Ridwan sudah mulai tampak. Besar dari media sosial, Emil sangat rawan rontok lewat media sosial pula. Sejumlah netizen mulai melakukan serangan ke Ridwan karena deklarasi yang terlalu dini tersebut. Beberapa dari mereka mencabut follow pada akun Twitternya karena kecewa dia didukung Surya Paloh.

Menghadapi serangan di media sosial, Ridwan pun panik. Hal itu tampak, misalnya, saat merespons akun instagram @detik.co yang menyebut Wali Kota Bandung tersebut sebagai pengikut aliran Syiah, satu mazhab dalam Islam yang berbeda dari mayoritas Muslim di Indonesia.

Tudingan-tudingan miring seperti ini pasti bukan hal baru bagi politisi tenar seperti Emil. Sebelumnya, dia juga pernah dituduh korupsi, atau anggota keluarganya dituduh menerima proyek dengan memanfaatkan jabatannya.

Saat itu, Ridwan lebih santai menanggapinya, yang hanya dia balas dengan membuat meme lucu dan publik pun mengapresasinya. Akan tetapi, kali ini Ridwan menempuh proses hukum terkait beredarnya tudingan bahwa dirinya Syiah tersebut.

Ridwan beralasan bahwa kalau sudah menyangkut identitas keyakinan, dirinya tidak bisa main-main. Pernyataan ini tentu ganjil, sebagai politisi tentu isu korupsi lebih gawat. Jadi, Ridwan membawa kasus ini ke ranah hukum demi identitas atau menyelamatkan kepentingan politiknya?

Jawabnya mudah ditebak. Isu Syiah masih sensitif dalam masyarakat kita, dan bisa berpotensi menggerus suara, teratama di masyarakat kalangan bawah. Pastinya, respons Ridwan atas tudingan tersebut tak bisa dilepaskan dari ambisi politiknya untuk merengkuh kursi panas Jabar 1.

Respons berlebihan seperti ini pun pasti memicu blunder, karena di luar gaya Ridwan membalas tudingan yang selama ini diketahui netizen. Akan lebih elegan seumpama dia membuat video, meme, atau tulisan ringan yang menunjukkan bahwa dirinya bukan Syiah.

Potensi blunder lebih besar dari itu adalah Ridwan tidak mendapatkan dukungan dari partai lain gara-gara sudah lebih dulu diusung NasDem. Partai yang suaranya lebih besar kemungkinan enggan mendukungnya karena terkesan ada di belakang partai bentukan Surya Paloh yang minim suara itu.

Situasi ini tentu menyandera Ridwan Kamil dalam situasi politik yang kikuk. Ridwan pastinya sekarang pasif, menunggu partai-partai lain melakukan survei internal untuk menentukan kandidat. Jika partai lain secara pragmatis bergabung dalam koalisi besar, Ridwan pasti tak kebagian tiket untuk mendaftar di KPU karena suara NasDem sendiri tak cukup.

Kemungkinan ini terbuka karena PKS sangat mungkin berkoalisi dengan Golkar dan Demokrat, sementara di sisi lain Gerindra dengan PDIP. Partai medium yang lain kemungkinan lebih melirik ke salah satu dari koalisi ini daripada ke NasDem. Apabila skenario ini terjadi, Ridwan akan gigit jari karena ambisinya untuk naik status terkubur.



Sumber : rimanews

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index