Gowok, Tradisi Vulgar Edukasi Seks yang Sudah Punah

Gowok, Tradisi Vulgar Edukasi Seks yang Sudah Punah
ilustrasi

Riauaktual.com - SEX education atau pendidikan seks, sampai sekarang kadang masih jadi hal yang tabu bagi masyarakat Indonesia. Padahal menurut banyak pengamat, kekerasan seksual sedikitnya bisa dihindari atau diminimalisir jika sudah “dididik” tentang hal itu sejak di lingkup keluarga.

Kalau mau menengok masa lalu, malah di kalangan masyarakat Jawa, ada sebuah tradisi pendidikan seks yang langsung belajar dengan praktek! “Tradisi Gowok” namanya.

Dari berbagai sumber, disebutkan tradisi ini sudah marak pada abad ke-15 tapi sudah menghilang pada era 1960-an. Disarikan Budi Sarjono dalam novel ‘Nyai Gowok’, tradisi ini asal-usulnya eksis sejak kedatangan Laksamana Cheng Ho dari Negeri China.

Deskripsinya begini. Gowok adalah sebutan wanita dewasa yang acap dijadikan “tempat” seorang anak lelaki mengenal seluk beluk tubuh wanita. Mulai dari bagian-bagian sensitif, hingga taraf hubungan seks.

Dalam buku ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ karya Ahmad Tohari, figur gowok seolah dijadikan mentor edukasi seks melalui praktek sejak dini. Ya, biasanya anak laki-laki yang sudah baligh, “dilatih” gowok soal berbagai pengetahuan seksual yang “disewa” pihak keluarga.

Biasanya dalam “latihan” atau yang biasa disebut ‘nyantrik’ itu, seorang anak akan menginap beberapa hari atau paling lama sepekan bersama sang gowok. Setelah dididik, sang anak laki-laki biasanya akan punya status sosial yang lebih tinggi dan jadi rebutan wanita-wanita, lho!

Eits, tapi ini bukan soal nafsu semata meski tradisi ini terbilang vulgar. Anak-anak remaja yang dididik gowok tidak hanya mesti mengerti soal hubungan badan di ranjang. Tapi juga semua hal tentang dunia pernikahan dengan pasangannya masing-masing, untuk menjadi lelanangin jagad yang sejati.

Jadi, intinya mereka dididik gowok agar lebih mantap dan lebih matang dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Gowok juga tidak hanya disewa keluarga si anak saat baligh, ada yang menyewa gowok saat si remaja laki-laki hendak menikah.

Kadang, gowok yang dipilih berdasarkan kesepakatan orangtua dan calon mertua si remaja laki-laki dan biasanya dipilih seorang wanita Jawa yang berusia antara 30-40 tahun.

“Masa pergowokan biasanya berlangsung hanya beberapa hari, paling lama satu minggu,” ungkap Ahmad Tohari dalam bukunya.

“Satu hal yang tidak perlu diterangkan tetapi harus diketahui oleh semua orang adalah hal yang menyangkut tugas inti gowok. Yaitu mempersiapkan seorang perjaka agar tidak mendapat malu pada malam pengantin baru,” imbuhnya.

Seperti sedikit diuraikan di atas, tradisi vulgar ini datang seiring kehadiran Laksamana Cheng Ho ke Pulau Jawa pada tahun 1415. Tradisi ini dikenalkan seorang wanita bernama Goo Wok Niang.

Dalam masyarakat Jawa, pelafalannya berubah jadi “gowok”. Namun disebutkan, tradisi yang marak di daerah Purworejo dan Banyumas ini, mulai hilang di era 1960-an, lantaran memang tradisinya melanggar norma dan agama.



Sumber : Okezone.com

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index