Mengapa cerita berbumbu kebohongan sangat digemari?

Mengapa cerita berbumbu kebohongan sangat digemari?
ilustrasi

Riauaktual.com - Gempita media sosial membuat cerita-cerita yang disebut inspiratif bertebaran tanpa kontrol. Sebagian cerita dibagikan melalui Facebook, Line atau WhatsApp.

Namun, tak jarang, cerita-cerita favorit yang dikomentari dengan mengharukan, inspiratif, menggugah dan kata-kata bombastis lainnya ternyata harus dikaluti dengan kebohongan-kebohongan.

Salah satu dari cerita-cerita model seperti itu misalnya, sepasang suami-istri dari Arab yang bertahun-tahun tak memiliki anak lalu keduanya periksa ke dokter. Sang istri divonis mandul, tapi suami memaksa dokter (berbohong) supaya mengatakan bahwa yang mandul adalah suaminya.

Tak lama kemudian, sang istri menderita sakit ginjal dan butuh pendonor. Saat operasi, suami pamit harus bisnis ke luar negeri (berbohong); padahal, dia yang menjadi donor. Singat cerita, merasa sehat dan subur, sang istri meminta suaminya supaya menceraikan dia dengan alasan ingin mendapatkan keturunan.

Belum dikabulkan, sang istri lalu menemukan buku harian suami yang merinci kejadian di atas. Terang saja, sang istri diceritakan malu bukan kepalang; bahkan, dia sampai tak berani memandang wajah suami hingga berbulan-bulan. Disuguhi, cerita seperti ini, orang lalu merespons dengan puja-puji setinggi Puncak Jaya, belum lagi dengan tambahan kalimat-kalimat yang berasosiasi relijius.

Suami diposisikan bak dewa yang rela berkorban sedemikian rupa. Padahal, jika diamati dalam perspektif lain, cerita tersebut mengandung kecacatan, yakni menebar kebohongan.

Apa susahnya mengembangkan pola komunikasi yang sehat dengan kejujuran? Jika suami jujur, bahwa yang mandul adalah istrinya lalu mengatakan bahwa dia tetap sayang apa pun kondisinya, bukankah lebih baik? Lalu, ketika sang istri harus operasi ginjal, bukankah akan lebih manis mengatakan bahwa dia bersedia berkorban apa saja termasuk berbagi ginjal?

Cerita apa pun yang mengandung kebohongan yang dikamuflase dengan efek dramatis seperti “inspiratif”, “mengharukan” dan seterusnya tidaklah pantas dibagi-bagikan, jika nalar sehat masih hendak dipakai.

Bukankah cerita di atas hanya mengorbankan jiwa istri akibat kebohongan suaminya (sampai tak berani memandang wajah suami karena malu)? Apa bagusnya cerita sampah seperti ini dibagi-bagi? Anehnya, yang turut menyebar cerita sejenis adalah beberapa dari mereka yang menolak sinetron Indonesia yang katanya tidak mutu itu.

Jika cerita model ini diafirmasi, yang ada adalah beberapa kemungkinan: 1) orang bisa berasumsi bahwa kebohongan itu tidak masalah; 2) istri harus dibohongi dulu, baru bisa merasakan pengorbanan suami; 3) merendahkan kekuatan perempuan untuk menerima fakta bahwa dia mandul; 4) cerita yang bagus harus ada kejutan-kejutan dengan bumbu kebohongan.

Kisah di atas hanyalah satu sampel dari sekian banyak cerita (yang diklaim nyata) yang dibagikan tanpa permisi di grup-grup WhatsApp, Line atau FB, dari sekian banyak cerita sejenis yang kebanyakan berlatar negara asing, seperti Arab, Cina, Jepang, Jerman dll.

“Diambil positifnya aja,” mungkin itu yang ada di benak penikmat cerita dusta seperti itu. Tentu saja apa pun di dunia ini ada positifnya, sama seperti wabah demam berdarah. Meskipun akan banyak korban, tak perlu diberantas karena ada sisi positifnya, yakni apotek jadi ramai dan penyedia obat-obatan dapat untung segunung. Kalau logika sesat ini dipakai, hapus saja kata negatif dari daftar kamus.

Maraknya kebohongan adalah salah satu masalah akut bangsa kita. Jadi, cerita jenis ini hanya akan menambah bara untuk mengobarkan lebih banyak lagi kebohongan-kebohongan. Atau, justru karena saking banyaknya yang terjangkiti kebohongan sehingga cerita-cerita sejenis laku keras (semodel kisah Si Kancil), dengan secara tak sadar menggunakannya untuk mengafirmasi kobohongan-kebohongan yang tak pernah dianggap sebagai penyakit serius.


Sumber : rimanews

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index