Ini dia tiga hoax yang sering dibicarakan netizen

Ini dia tiga hoax yang sering dibicarakan netizen
ilustrasi

Riauaktual.com - Fenomena masyarakat Indonesia menyebarkan berita hoax cenderung menurun untuk isu-isu tertentu, dan ada tiga isu hoax yang paling sering dibicarakan netizen.

Dalam siaran persnya, hari ini, Country General Manager perusahaan monitoring dan analisis media iSentia, Luciana Budiman merinci tiga isu hoax itu.

"Selama kurun waktu dua bulan terakhir ini, 31 Desember hingga 24 Januari, yaitu mengenai eksodus 10 juta pekerja Cina, wafatnya mantan presiden BJ Habibie serta miringnya jembatan Cisomang," kata Luciana, sebagaimana dikutip dari rimanews.

Bulan lalu, saat berbicara dalam deklarasi Masyarakat Antihoax, di Jakarta, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudi Rudiantara pernah meminta masyarakat memerangi hoax. Pasalnya kondisi saat ini sudah pada tahap darurat penyebaran hoax di media sosial.

Luciana mengatakan, ada 100 percakapan di media sosial yang membahas isu wafatnya BJ Habibie dan miringnya jembatan Cisomang dibicarakan kurang dari 100 percakapan di media sosial. Sedangkan isu pekerja asal Cina mencapai 1.224 pembicaraan.

"Ini menunjukkan bahwa sebenarnya orang Indonesia sudah mulai bisa memilih dan memilah mana fakta yang perlu disebarluaskan dan mana berita yang belum valid," ungkapnya.

Untuk isu 10 juta pekerja China, tambah Luciana, tidak saja media sosial yang membicarakannya melainkan juga media tradisional.

Terdapat 118 artikel yang di berbagai media yang membahas tentang ini dan 54 persennya adalah media online.

Surat kabar menempati posisi kedua dengan jumlah pemberitaan 43 persen, sedangkan televisi dan majalah hanya 3 persen saja. Sementara di ranah media sosial, Twitter menyumbang 86,74 persen pembicaraan, diikuti oleh Facebook 10,85 persen. Sisanya adalah forum online dan blog.

Menurutnya, berdasarkan pemantauan, media konvensional cenderung memilih bersikap netral dalam memberitakan hal yang belum diketahui validitasnya, sedang di media sosial sebagian netizen telah mengambil sentimen baik positif atau negatif.  

Sikap netral merupakan keunggulan media konvensional dan dengan demikian media konvensional mampu memberikan edukasi bagi masyarakat untuk tidak turut membantu menyebarkan berita-berita hoax sebagai penyeimbang media sosial.  

"Tentunya proses edukasi ini membutuhkan waktu sehingga nantinya masyarakat kita sudah paham dalam membedakan berita hoax dengan berita bermutu," katanya.

Masih menurut siaran pers itu, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Deddy Mulyana mengatakan, karakter asli masyarakat Indonesia yang tidak terbiasa berbeda pendapat atau berdemokrasi secara sehat merupakan salah satu faktor mudahnya menelan berita palsu yang disebarkan dengan sengaja.

"Sejak dulu orang Indonesia suka berkumpul dan bercerita. Sayangnya, apa yang dibicarakan belum tentu benar," kata dia.

Sebab, budaya kolektivisme ini tidak diiringi dengan kemampuan mengolah data. "Masyarakat tidak terbiasa mencatat dan menyimpan data sehingga sering berbicara tanpa data. Sedangkan media sosial, sebagai sumber berita hoax, adalah kepanjangan panca indera manusia," kata dia.

Menurut mantan dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran ini, masyarakat cenderung senang membahas aspek-aspek yang berkaitan dengan kekerasan, sensualitas, drama, intrik dan misteri.

"Politik adalah bidang yang memiliki aspek-aspek tersebut. Tidak heran kalau berita hoax sering sekali terjadi pada tema politik, khususnya saat terjadi perebutan kekuasaan yang menjatuhkan lawan seperti pilkada," katanya.

Deddy menambahkan, rendahnya kecerdasan literasi masyarakat Indonesia juga menjadi faktor penyebab hoax mudah dikonsumsi.  "Apakah di Amerika tidak ada hoax? Tentu ada, tapi tidak massif seperti kita. Sebab apa, karena mereka telah melewati tradisi literasi sebelum masuk era sosial media," katanya.
 

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index