Politik uang jadi virus mematikan di era demokrasi

Politik uang jadi virus mematikan di era demokrasi
ilustrasi

POLITIK (RA) - Direktur Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mempertanyakan mengapa politik uang masih begitu tumbuh subur mewarnai demokrasi tanah air. Hal ini terjadi ditengah keharmonisan Islam dan demokrasi.

"Politik uang masih menjadi virus mematikan substansi demokrasi, yang tumbuh subur seperti yang kita jalankan sekarang," ujar Titi di Kantor PP Muhammdiyah, Jakarta, seperti dikutip dari rimanews hari ini.

Titi mengatakan jika dikaitkan dengan politik uang, maka kelompok marjinal dan termarjinalkan adalah yang paling disasar oleh politik uang.

Kelompok marjinal atau kelompok yang termarjinalkan dikondisikan untuk permisif terhadap politik uang dan dipaksa memiliki ketergantungan dengan politik uang.

Dia memberikan contoh ada koruptor APBD yang bisa kembali memenangkan pilkada di satu daerah.

Karena dicitrakan di mata publik sebagai sosok yang dermawan, paling memiliki jiwa sosial di tengah ketidakhadiran negara kepada kaum marjinal dan termarjinalkan. Koruptor ini bisa mengambil simpati masyarakat sehingga terpilih kembali.

"Padahal dia sendiri representasi negara, dia tidak melayani publik sebagai kepala daerah, sehingga warga gamang dan putus asa. Kemudian ia hadir sebagai orang yang menawarkan uang, meskipun jumlahnya tidak seberapa," kata dia.

Lanjut Titi, mereka pun terbuai dengan uang dan stigma yang dibuat si kepala daerah yang menggambarkan dirinya sebagai korban kasus korupsi atau dikriminalisasi. Image ini yang kembali dijual saat ia berkampanye mempertahankan kursi kepala daerah.

"Mereka-mereka ini dianggap sebagai sinterklas di tengah hari bolong. Ketika mereka dicokok oleh penegak hukum, image yang mereka bangun adalah sebagai korban, kriminalisasi, itu yg mereka bawa ketika masuk lagi pilkada, jadi bahan jualan," tuturnya.

Selain itu, Titi menuturkan, kelompok marjinal dan termarjinalkan ini tidak hanya tersingkir dari segi ekonomi, tapi juga sisi politik. Banyak ditemukan warga marjinal yang belum memiliki E-KTP sehingga mereka kesulitan memberikan suara di Pilkada.

"Kalau mereka tidak di fasilitasi, maka mereka kehilangan hak pilihnya. Mereka tidak punya akses kependudukan, padahal sudah tinggal bertahun-tahun. Mereka akan termajinalkan secara ekonomi dan politik," tandasnya.

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index