Tahun Depan Peluang Harga BBM Naik 50:50

Tahun Depan Peluang Harga BBM Naik 50:50
Ilustrasi

EKONOMI (RA) - Menteri Keuangan, Sri Mulyani menilai peluang harga BBM naik pada 2017 masih "50:50" alias imbang, mengingat masih ada kemungkinan pelemahan permintaan atas BBM pada tahun depan.

"Secara total pada 2017, saya rasa masih dianggap imbang dari sisi harga minyak sesuai asumsi kita di 45 dolar AS per barel, karena nampaknya dengan perkembangan sekarang," ujar Mulyani, seperti dikutip dari rimanews, hari ini.

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral menegaskan sesuai dengan Kepmen ESDM Nomor 5976 K/12/MEM/2016 pada 27 Juni 2016, pemerintah menetapkan harga jual eceran BBM tertentu dan BBM khusus penugasan terhitung 1 Juli hingga 30 September 2016, tidak mengalami perubahan.

Namun demikian, harga BBM jenis premium mulai 1 Oktober 2016 turun dari Rp 6.450 per liter menjadi Rp 6.150 per liter. Sedangkan harga BBM jenis solar  naik Rp 600 per liter dari sebelumnya Rp 5.150 per liter menjadi Rp5.750 per liter.

Dilihat dari prospek permintaan, menurut Sri,  tidak ada kenaikan, tapi  kemungkinan saja penguatan dari harga BBM itu akan terpengaruh atau dilemahkan dengan permintaan yang melemah juga. Dengan demikian juga dia tidak bisa bertahan lama dalam posisi yang terlalu tinggi.

Sri menjelaskan, dari sisi permintaan, tidak boleh dilupakan apa yang terjadi di Eropa dengan Brexit-nya, referendum Italia, serta pemilu yang akan dilakukan di Prancis, Jerman, serta Belanda. Hal-hal itu dinilai akan memberikan pengaruh terhadap proyeksi pemulihan ekonomi di Eropa.

Sementara itu, di Amerika Serikat sendiri, seluruh dunia akan memberikan perhatian terhadap kebijakan Presiden Amerika Serikat terpilih, Donald Trump, dalam menstimulasi permintaan.

"Dari sisi apakah proyeksi komitmen dari OPEC sebagai produsen minyak terbesar secara terorganisasi, maupun dari sisi permintaan masih sangat berbaur dari sisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang kemudian turunannya adalah pemintaan terhadap minyak. Saya melihat bahwa itu kans-nya masih 50:50 dari sisi kenaikan harga minyak yang terlalu tinggi," kata Mulyani.

Pada akhir November lalu, OPEC sepakat menurunkan produksi sebesar 1,2 juta barel per hari menjadi 32,5 juta barel per hari, efektif mulai 1 Januari selama enam bulan.

Indonesia sendiri memutuskan untuk membekukan sementara keanggotaaan OPEC karena keputusan OPEC tersebut karena dinilai tidak sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia.

Indonesia diminta memotong sekitar lima persen dari produksinya atau sekitar 37.000 barel minyak sehari, padahal kebutuhan penerimaan negara masih besar terutama dari migas.

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index