Menagih Janji Manis Firdaus-Ayat

Menagih Janji Manis Firdaus-Ayat
Raya Desmawanto

KAMIS, 26 Januari 2012 silam, masyarakat Pekanbaru resmi memiliki pemimpin baru. Pelantikan duet Firdaus-Ayat Cahyadi pemenang pemilukada kontra Septina-Erizal Muluk yang sudah dinanti-nantikan, setidaknya oleh pendukung pasangan ini digelar.

Euforia pendukung riuh di ballroom Ibis Hotel. Tim sukses sibuk menjadi penyambut tamu. Pesta setengah hari itu pun berakhir dengan senyum merekah, peluk dan salam hangat para tamu dengan pasangan pemimpin baru.

Semua tahu, terpilihnya Firdaus-Ayat melewati proses yang berliku, terjal dan kusam. Menang dalam pemilukada 18 September 2011, tak menjadi jaminan pasangan ini bisa dengan mudah dilantik. Perlawanan kubu Septina-Erizal ke Mahkamah Kontitusi membatalkan suara mayoritas terhadap Firdaus-Ayat.

MK memerintahkan dilaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) yang membuat pendukung PAS, jargon Firdaus-Ayat kecewa. Demo saban hari meledak dimana-mana. PAS dituding menjadi korban politik elit daerah.

Media memberitakan PAS sebagai korban, kendati sebenarnya saling caci antarkubu terjadi kala itu. Tak cukup itu, di tengah jalan, skandal 'moral' menerpa Firdaus, bekas 'anak buah' Gubernur Riau Rusli Zainal, yang kebetulan suami Septina, rivalnya.

Firdaus disebut-sebut memalsukan identitas diri dan keluarga. Ia dituding berpoligami dengan seorang wanita bekas pramugari di Jakarta. Isu ini serius disikapi oleh Panitia Pengawas Pemilukada Pekanbaru. Investigasi dilakukan.

Merasa bukti cukup, kasus ini pun dilimpahkan ke Polres Pekanbaru. Firdaus pun akhirnya ditetapkan sebagai tersangka (hingga saat ini status tersebut masih melekat).

Musibah yang menimpa Firdaus belum cukup. Oleh KPU Pekanbaru, pencalonannya dinyatakan cacat hukum, sehingga KPU memutuskan untuk mencoret namanya sebagai peserta pemilukada. Firdaus dinyatakan tidak memenuhi persyaratan sebagai calon walikota, kendati sudah ikut dalam pemilukada jilid I. Bahkan, dalam sidang lanjutan di MK, KPU Pekanbaru meminta agar status Firdaus sebagai calon walikota dibatalkan.

Sejumlah kalangan terharu pada Firdaus-Ayat. Rasa kecewa merebak dimana-mana. Sebagai 'media darling', Firdaus-Ayat ditempatkan sebagai pasangan yang dizalimi.

Semua itu akhirnya berlalu. Pemungutan suara ulang yang diamanahkan MK pun digelar 21 Desember 2011. Lebih 60 persen pemilih menjatuhkan hatinya kepada Firdaus-Ayat. Kemenangan, resmi menjadi milik PAS.

Di awal pemerintahannya, PAS berkomitmen untuk menebus 'pembelaan' masyarakat dengan sejumlah terobosan program. Penampilan yang dingin, tenang dan murah senyum menambah keyakinan publik, Firdaus-Ayat bakal mampu memenuhi harapan publik.

Stigma PAS sebagai kubu yang mengalami kezaliman politik menambah rasa cinta akan pasangan ini. PAS kala itu berada di atas angin dan kerap menjadi sandaran masyarakat untuk membawa perubahan di Kota Bertuah. Ia ditempatkan sebagai figur anti-kemapanan politik, berani melawan bekas atasan yang berlabel negatif dan bersikap santun.

Hampir setahun perjalanan pemerintahan Firdaus-Ayat, bagaimana janji politik itu bisa dilaksanakan?

Tanpa memberi penilaian tendensius, harus diakui kalau satu tahun pertama pemerintahan Firdaus-Ayat belum memberikan perubahan yang mencolok di kota ini. Layanan publik masih dikeluhkan, berbelit-belit, mahal, lamban dan dibayang-bayangi praktik pungli.

Pengurusan izin meski dilakukan secara terpadu, juga tak cukup memuaskan. Investor masih mengeluh tingginya 'dark cost' yang harus mereka keluarkan.

Tak hanya soal cepat-lambannya dalam penerbitan izin. Tudingan pemerintahan ini belum bisa menertibkan praktik 'mafia perizinan' justru lebih mengemuka. Lihatlah, sejumlah bangunan tinggi di pusat kota bebas berdiri seolah tanpa rencana yang memadai.

Hotel dan sarana hiburan dibangun sesak berhimpitan di tepian ruas jalan yang sempit. Kemacetan terjadi di pusat kota. Harus diakui, masih banyak masalah dalam proses penerbitan izin-izin yang bernuansa imbal balas ekonomi dengan penyelenggara pemerintahan.

Biaya pendidikan mahal, menyebabkan tingkat putus sekolah bertambah. Di tengah pemerintah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun, justru makin banyak pungutan-pungutan yang belum bisa ditertibkan. Ekonomi masyarakat bawah yang tidak bertumbuh positif, ditekan oleh pengeluaran pendidikan anak yang kian membumbung. Kesenjangan antar sekolah begitu mencolok terjadi.

Soal ekonomi masyarakat, duet Firdaus-Ayat belum mampu menumbuhkan lapangan kerja baru yang memadai. Keberadaan pasar di sektor riil ekonomi masyarakat tidak tertata dengan baik. Kegagalan menuntaskan proyek Cik Puan menjadi indikasi awal kalau pemerintahan ini tidak akomodatif dengan suara pedagang.
Apalagi, Pemko justru berencana mengalihkan Cik Puan ke pihak ketiga (swasta). Tampaknya, Pemko tak mau belajar dengan pengalaman swastanisasi pasar-pasar milik pemerintah. Di mana, kewenangan pemerintah hilang dan tumpul, berada di bawah kendali investor.

Pungutan terhadap pedagang begitu mahal, tidak dibarengi dengan layanan dan kondisi pasar yang memadai. Penyerahan kewenangan mengelola pasar ke swasta, menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam membangun ekonomi pedagang. Ini bertolak belakang dengan pengalaman di Surakarta, di mana pasar-pasar semi modern dan tradisional dibangun dan dikelola pemerintah setempat.

Pemerintahan saat ini tampaknya cukup puas mampu meraup royalti di bawah Rp 4 miliar, sejak kerja sama dengan swasta dalam pengelolaan empat pasar dilakukan beberapa tahun silam. Ada kealpaan, bahwa pemerintah seharusnya tidaklah mengharapkan PAD dari sektor pasar yang telah menyediakan banyak lapangan kerja.

Dari sisi layanan birokrasi, kualitas pelayanan dan kinerja aparatur juga tak begitu optimal. Jika dibandingkan dengan besarnya alokasi anggaran untuk kepegawaian yang mencapai alokasi 50 persen lebih dari APBD, publik tentu tidak cukup puas. Layanan publik yang lamban, ditambah embel-embel lain membuat masyarakat yang membayar pajak untuk gaji pegawai kecewa.

Penempatan aparatur pemerintahan di sejumlah satuan kerja juga dinilai tanpa perencanaan yang matang. Reshufle pimpinan satker tidak memberikan harapan ada perbaikan kinerja. PAS justru memilih dan mempertahankan dua pimpinan satker (Kadis PU dan Kepala Badan Kesbangpol) yang berstatus sebagai tersangka.

Bahkan, Walikota memberi jaminan terhadap Kepala Badan Kesbangpol agar tidak ditahan badan oleh kejaksaan. Bukankah, pengangkatan pejabat-pejabat yang memiliki kasus hukum itu menjadi beban pemerintahan?

Siapa bilang, layanan identitas kependudukan sudah berjalan baik? Untuk mendapatkan KTP yang menjadi hak dasar warga negara saja, masyarakat harus menunggu berbulan-bulan. Bukankah ini seharusnya yang menjadi PR duet Firdaus-Ayat di awal kepemimpinannya?

Tentu saja, kita tak boleh berburuk sangka terhadap komitmen PAS tersebut. Namun, setidaknya, satu tahun pertama pemerintahan ini idealnya bisa meletakkan pondasi pembangunan yang kuat. Masih tersisa empat tahun lagi ke depan.

Tapi, waktu yang singkat itu pun biasanya tak lagi penuh, karena bisa saja Firdaus-Ayat akan disibukkan agenda politik suksesi. Atau, keadaannya bisa jadi lebih mudarat, ketika duet Firdaus-Ayat pecah kongsi dalam beberapa waktu ke depan. Maklum, Firdaus yang awalnya tulen birokrat, kini ikut menceburkan diri menjadi ketua partai politik. Tak beda dengan sekondannya Ayat yang lebih awal menjadi politisi.

Sulit untuk memisahkan kepentingan sebagai walikota dan wakil walikota dengan kepentingan mereka sebagai kader partai. Acap kali, terjadi benturan keras. Kompetisi antarpartai tempat mereka bernaung pun sudah pasti terjadi.

Publik tentu tak menginginkan Firdaus-Ayat larut dalam urusan politik pribadi, ketimbang mengurusi rakyat. Yang diharapkan, empat tahun ke depan, keduanya bisa memenuhi janji-janji manis yang kerap disampaikan dalam kampanye tahun lalu. Jika tidak, masyarakat akan menentukan sikap politik rasional. PAS pun bisa dicap tak amanah dengan mandat rakyat.

Penulis: Raya Desmawanto, Jurnalis di Pekanbaru

Ikuti RiauAktual di GoogleNews

Berita Lainnya

Index