Tembok pemisah wakil rakyat dengan rakyat

Rabu, 14 Februari 2018

Gedung DPR. Merdeka.com/Imam Buhori

Riauaktual.com - Pengesahan perubahan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menuai polemik. Sejumlah koalisi masyarakat sipil menilai revisi ini membuat DPR menjadi lembaga dengan kewenangan luar biasa.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai munculnya pasal-pasal baru membahayakan demokrasi. Menurutnya, DPR seharusnya tidak anti dengan kritik. Terlebih jika bertujuan sebagai kontrol agar lembaga legislatif itu lebih fungsional.

"DPR representasi rakyat, justru sekarang DPR bangun tembok pemisah antara rakyat dan dengan mereka yang menjadi wakil rakyat," katanya, Rabu (13/2).

Lucius menyoroti ketentuan di pasal 122 huruf K. Disebutkan, MKD bisa melaporkan perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

"Kalau kritik dianggap bahasanya merendahkan harkat dan martabat DPR lalu diproses hukum sangat berbahaya," tegasnya.

Kemudian pasal 245 yang mengatur pemanggilan anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

"Pasal ini sudah diputus oleh MK, tapi dihidupkan kembali dengan kata-kata berbeda. Bahaya sekali," tuturnya.

Lucius khawatir dengan harusnya meminta pertimbangan MKD akan melebar pada hubungan eksekutif dan legislatif. Misalnya, kata Lucius, pertimbangan MKD dengan presiden berbeda soal pemeriksaan anggota dewan tersangkut kasus.

"Nanti gaduh lagi, dianggap tidak tunduk pada perintah DPR," tuturnya.

Lucius curiga munculnya pasal-pasal ini berkaitan dengan posisi Ketua MK Arief Hidayat. Sebabnya, lanjut Lucius, pembahasan sejak awal fokus pada penambahan kursi pimpinan.

"Seminggu jelang disahkan tak pernah muncul pasal kontroversial itu. Sepertinya DPR memanfaatkan kemesraan dengan MK. Seperti putusan soal Pansus Angket. Sebelumnya MK sebut KPK lembaga independen, tapi sekarang disebut bagian dari eksekutif," tuturnya.

Seperti diketahui, Dewan Etik MK telah memutuskan Arief terbukti melakukan pelanggaran ringan. Arief dilaporkan melakukan pelanggaran kode etik sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan terkait pencalonannya kembali sebagai hakim konstitusi.

Arief diberi sanksi berupa teguran lisan. Arief diketahui bertemu dengan sejumlah pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, tanpa undangan secara resmi dari DPR, melainkan hanya melalui telepon. Arief telah membantah soal lobi politik ini.

"Jika keadaannya normal, meski diubah bagaimana pun, tapi subtansinya sama (pasal di UU MD3) harusnya dibatalkan lagi oleh MK," tandasnya. (Wan)

 

Sumber: merdeka.com