Benarkah Pembunuh Itu Orang yang Otaknya Rusak?

Jumat, 24 November 2017

Charles Manson

Riauaktual.com - Saat Charles Manson, pembunuh berdarah dingin sekaligus pemimpin pemujaan sebuah aliran akhirnya meninggal dunia, banyak pihak yang bertanya-tanya apa sebenarnya isi otaknya.

Dorongan untuk 'membongkar' isi otak adalah hal yang lumrah. Soalnya perilaku Manson yang tidak stabil, penampilan aneh dengan tato swastika, kedekatan dengan legenda Hollywood plus juga seorang pembunuh membuat orang berpikir jika ia memiliki otak yang aneh.

Namun keinginan publik ini justru tidak serta merta diamini oleh para ilmuwan.

Jens Foell, pakar neuropsikolog di Florida State University mengungkapkan, meski layak dipelajari namun ia tidak berharap menemukan sesuatu yang tidak biasa di balik tengkorak Manson.

Ia sendiri beralasan jika tindakan kriminalitas terjadi karena banyak faktor, bukan melulu soal adanya permasalahan pada otak seseorang.

Kerusakan Otak

Memang kerusakan otak pada seseorang bisa jadi salah satu faktor yang memicu perilaku kekerasan.

Namun, pakar hubungan otak dan perilaku ini menuturkan, jika memang perilakunya dipicu karena kerusakan otaknya maka kelainan itu harusnya sudah jauh-jauh hari ditemukan.

"Sementara tidak pernah terdengar kalau dia memiliki semacam kerusakan otak, atau tumor dan sejenisnya yang berhubungan dengan perilaku kekerasan," kata Foell.

Jadi tidak ada alasan khusus yang mengarah adanya cacat di otak Manson. Jikapun ada Foell berpendapat tumor paling tidak sudah bisa terdeteksi dalam kurun 40 tahun Manson berada di penjara.

Foell lantas membandingkannya dengan kasus yang ditemukan pada Charles Whitman, seorang pembunuh legendaris.

Pada tahun 1966, Whitman seorang penembak jitu dan veteran marinir ini mendatangi psikiater dan mengeluhkan fantasinya soal kekerasan.

Kemudian tepat tengah malam, tanggal 1 Agustus 1966, ia membunuh ibunya, mencuci tangannya, dan menulis sebuah catatan yang mengungkapkan penyesalan atas tindakannya.

Lantas ia membunuh istrinya, menikamnya lima kali.

"Saya mencintainya tetapi saya tidak dapat secara rasional menjelaskan alasan spesifik mengapa melakukan tindakan itu," katanya dalam sebuah pernyataan yang dimuat di The Washington Post.

Teror belum berakhir. Keesokan harinya Whitman memasukkan setumpuk senjata dan amunisi ke sebuah kereta dorong, membawanya dengan lift ke menara sebuah universitas.

Ia lalu membunuh 14 orang, melukai 30 lainnya selama dua jam menembak. Sebelum akhirnya ia bunuh diri.

Otopsi mengungkapkan jika terdapat tumor di otak Whitman yang menekan area yang berkaitan dengan pengendalian diri.

Faktor Lain

Sebenarnya dari perspektif neurosains, ada bagian otak yang layak dipelajari karena bisa menunjukkan gambaran otak pembunuh.

Bagian itu adalah amigdala, wilayah otak yang terlibat dalam kontrol emosional.

Menurut Foell amigdala akan menunjukkan koneksi yang jauh lebih sedikit ke bagian otak lain.

Tapi struktur otak orang tidak cukup sepenuhnya menjelaskan perilaku seseorang.

"Satu hal yang orang lupa adalah bahwa segala sesuatu yang Anda lakukan mengubah otak," katanya.

"Setiap sel saraf memiliki rata-rata sekitar 1000 koneksi ke sel lainnya. Koneksi tersebut menguat atau hilang berdasarkan setiap situasi baru yang dihadapi oleh seseorang," imbuh Foell. (wan)

 

Sumber: kompas.com