Mengapa Literasi di Indonesia Sangat Terendah

Ahad, 10 September 2017

Ilustrasi (net)

Riauaktual.com - Tanggal 8 September menjadi tanggal penting yang wajib dicatat semua orang. The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) secara resmi mendeklarasikan setiap tanggal 8 September diperingati sebagai Hari Literasi Internasional (Hari Aksara Internasional). 

Perayaan yang tahun ini memasuki tahun ke-52 pertama kali diproklamasikan oleh UNSECO pada tanggal 17 November 1965. Apabila tema Hari Literasi Internasional di tahun 2016 adalah “Membaca Masa Lalu, Menulis Masa Depan”, maka tema tahun ini adalah “Literasi di Era Digital”. 

Tujuan yang ingin dicapai UNESCO pada peringatan kali ini adalah mencari tahu kemampuan literasi apa saja yang diperlukan masyarakat dalam menghadapi era digital dan mengeksplorasi program serta kebijakan di bidang literasi.

Di Indonesia, puncak peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) mengambil lokasi di Pandapa Paramarta Komplek Stadion Mashud Wisnusaputra, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Harris Iskandar yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengatakan bahwa sosialisasi tentang enam literasi dasar ke masyarakat sudah saatnya untuk dilakukan. 

“Baca, tulis, hitung (calistung) saja tidak cukup. Ada enam literasi dasar yang harus dikuasai orang dewasa menurut World Economic Forum, yaitu baca tulis, literasi numerasi, literasi finansial, literasi sains, literasi budaya dan kewarganegaraan, dan literasi teknologi informasi dan komunikasi atau digital,” ucapnya saat diwawancarai media.

Poin terakhir dari enam literasi dasar tadi menjadi tema yang diangkat UNESCO dalam peringatan tahun ini. Menurut UNESCO, setidaknya saat ini ada 750 juta orang dewasa dan 264 juta anak putus sekolah yang minim kemampuan literasi dasar. Oleh karena itu, tahun ini menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi UNESCO bekerja sama dengan pemerintah, organisasi multilateral dan bilateral, NGO, swasta, praktisi pendidikan, dan akademisi untuk mempromosikan literasi di era digital yang sudah melekat di kehidupan masyarakat.

Lalu bagaimana dengan kabar literasi di Indonesia saat Hari Aksara Internasional (HAI) memasuki umur ke-52 tahun? Menurut data statistik dari UNESCO, dari total 61 negara, Indonesia berada di peringkat 60 dengan tingkat literasi rendah. 

Peringkat 59 diisi oleh Thailand dan peringkat terakhir diisi oleh Botswana. Sedangkan Finlandia menduduki peringkat pertama dengan tingkat literasi yang tinggi, hampir mencapai 100%. 

Data ini jelas menunjukkan bahwa tingginya minat baca di Indonesia masih tertinggal jauh dari Singapura dan Malaysia. Dilansir dari data penelitian yang dilakukan United Nations Development Programme (UNDP), tingkat pendidikan berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 14,6%. Persentase ini jauh lebih rendah dibandingkam Malaysia yang mencapai angka 28% dan Singapura yang mencapai angka 33%.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Pertama, belum ada kebiasaan membaca yang ditanamkan sejak dini. Role model anak di keluarga adalah orang tua dan anak-anak biasanya mengikuti kebiasaan orang tua. Oleh karena itu, peran orang tua dalam mengajarkan kebiasaan membaca menjadi penting untuk meningkatkan kemampuan literasi anak. 

Biasanya kita sering mendengar kata membaca sebagai hobi, sehingga orang masih menganggap sepele akan pentingnya membaca. Paradigma inilah yang harus diubah untuk menjadikan membaca sebagai kewajiban.

Kedua, akses ke fasilitas pendidikan belum merata dan minimnya kualitas sarana pendidikan. Sudah menjadi fakta bahwa kita masih melihat banyak anak yang putus sekolah, sarana pendidikan yang tidak mendukung kegiatan belajar mengajar, dan panjangnya rantai birokrasi dalam dunia pendidikan. Hal inilah yang secara tidak langsung menghambat perkembangan kualitas literasi di Indonesia.

Terakhir adalah masih kurangnya produksi buku di Indonesia sebagai dampak dari belum berkembangnya penerbit di daerah, insentif bagi produsen buku dirasa belum adil, dan wajib pajak bagi penulis yang mendapatkan royalti rendah sehingga memadamkan motivasi mereka untuk melahirkan buku berkualitas.

Melalui peringatan Hari Literasi Internasional diharapkan ada perhatian dari pemerintah Indonesia untuk meningkatkan minat baca masyarakat dan membenahi prasarana pendidikan secara merata agar semua orang bisa mendapatkan akses yang sama. 

Belum lama ini, Presiden Jokowi meresmikan program pengiriman buku gratis setiap tanggal 17 ke seluruh daerah di Indonesia. Program yang diinisiasi oleh Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab dengan beberapa pegiat literasi ini bekerja sama dengan PT Pos Indonesia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk peduli akan literasi di Indonesia. 

Pengiriman buku gratis bisa dilakukan setiap bulannya pada tanggal 17. Melalui program ini diharapkan dapat mempermudah akses terhadap buku dan meningkatkan minat baca masyarakat. (das/cnn)